Penelusuran google

Sabtu, 03 Oktober 2009

Lebaran: antara Suka dan Duka

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
Hehe, pemanasan dulu ya... Sudah lama tidak mengisi ke-0-an (baca:
kekosongan) blog. Maklum, akhir-akhir ini banyak orderan manggung di
sana-sini. Apalagi pas bulan puasa, kurang afdhol kalo tidak rilis album
religi, jadi makin sibuk deh. Belum lagi acara buka puasa, tarawih,
tadarusan, dan sahur bareng artis serta anak yatim, kebayang sibuknya
dunia hiburan. Tentu saja yang kalian saksikan dalam berbagai acara gosip
itu adalah "Hannah Montana"-ku, Azhar tetap jadi manusia biasa.

Lebaran aka Idul Fitri tahun 1430H kali ini dan tahun-tahun sebelumnya
serta mungkin tahun-tahun berikutnya menjadi hari yang istimewa bagi umat
islam dan umat agama lain yang ikut merasakan liburan. Pada hari lebaran
hampir semua muslim (muslim= orang Islam) pulang kampung dan berkumpul
bersama keluarga, saling bermaaf-maafan dan bertukar kabar. Komunikasi ala
zaman globalisasi yang sarat komunikasi jarak jauh seperti sms, mms,
e-mail, dan video call rupanya kalah dengan metode komunikasi paling
primitif: bertatap muka.

Banyak pemudik berarti banyak pengguna alat transportasi berarti banyak
permintaan atas jasa transportasi. Banjirnya penumpang dimanfaatkan oleh
penyedia jasa transportasi untuk menaikkan harga tiket. Usaha pemerintah
untuk membatasi kenaikan harga tiket walaupun cukup berhasil tetapi tidak
seratus persen efektif. Karena pada dasarnya para pemudik mau membayar
berapapun untuk mendapatkan transportasi ke kampung halaman. Bukanya sok
hiperbolik, buktinya ribuan orang memenuhi bus-bus dan kereta api yang
harga tiketnya melonjak sampai dua kali lipat. Belum lagi tiket yang
dijual para calo dengan harga yang semakin tidak masuk akal. Maklum, calo
juga perlu uang untuk "pelicin" bagi oknum penjual tiket resmi untuk
lebaran.

Tak hanya uang, nyawapun dipertaruhkan untuk mewujudkan sungkem dengan
orang tua. Lagi-lagi hiperbolik ya. Daya tampung maksimal bukan jadi
batasan lagi, ribuan orang berjubel dalam kapal laut dan kereta api
ekonomi, "bangku-bangku darurat" berupa bangku plastik memenuhi ruang
kosong dalam bis kota untuk menampung penumpang lebih, dan tak terhitung
lainnya berjejal dalam padatnya lalu lintas jalanan penuh kendaraan roda
dua. Pemandangan yang terlalu mengerikan untuk diceritakan kepada
anak-cucu.

Ibarat defragmentasi harddisk, semua orang kembali ke tempat dia
dilahirkan. Sesulit apapun, semahal apapun, semua cara ditempuh.

Alhamdulilah, mudik yang saya alami tidak seekstrim cerita di atas.
Sekitar satu setengah bulan sebelum tanggal mudik saya sudah pesan tiket
pesawat ke Jakarta serta tiket Jakarta - Jambi untuk pulangnya. Mungkin
harga tiket hampir satu setengah kali tiket bus tetapi penghematan waktu
perjalanan dan tenaga sangat berarti jika kesempatan pulang mudik hanya
tujuh hari.

Enam belas September 2009, kabut asap menyerang sebagian wilayah pulau
Andalas yaitu Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Jambi membawa kegalauan
dan kesedihan terutama bagi para penumpang pesawat yang terkena imbasnya
karena banyak penerbangan yang ditunda. Baik pesawat yang akan terbang
atau turun menunggu kabut asap menipis dan pilot dapat melihat landasan
dengan jelas (membayangkan pesawat dilengkapi teknologi semacam GPS dapat
dengan mudah mengetahui posisi landasan walaupun terhalang asap dapat
mendarat mulus dengan bantuan program autopilot). Lalu lintas udara mulai
lancar kembali setelah hari agak sore.

Beruntung bagi kami, malamnya turun hujan. Walaupun sebentar, air hujan
membersihkan udara dari asap sehingga penerbangan keesokan harinya tidak
terkendala penundaan yang menyakitkan hati. Kembali lagi melawat Jakarta
yang macet.

Perjalanan dilanjutkan dengan kereta api. Kamandanu namanya, eksekutif
kelasnya, machal harga tiketnya, tapi tak maksimal pelayanannya. Semenjak
serangan arus mudik, pelayanan dikurangi tetapi harga tiket dinaikkan.
Harga tiket awal kalau tidak salah Rp280 ribuan menjadi Rp350 ribu tapi
pihak PT KA tidak menyediakan makan, mungkin karena sedang bulan puasa.

Gerbong enam, gerbong yang kami tumpangi sangat tidak nyaman karena
pendingin udara rusak. Salah seorang penumpang yang merasa tidak puas
dengan hangatnya suasana mengajukan protes dan meminta pindah ke gerbong
lain dan menempati tempat duduk yang kosong. Banyak penumpang yang
melakukan hal serupa tetapi diarahkan oleh petugas dari PT KA untuk
kembali ke tempat duduk masing-masing. Beberapa saat kemudian ada
penjelasan dari pihak PT KA bahwa atas ketidaknyamanan tersebut sebagian
uang tiket dikembalikan sehingga tiket yang kami bayar hanya sebesar tiket
kelas bisnis. FYI, kereta api kelas bisnis memang tidak ber-AC dan banyak
penumpang yang hanya kebagian tiket berdiri sehingga duduk di sembarang
tempat atau berdiri di bordes dan mengurangi kenyamanan penumpang lain.
Paling tidak jumlah penumpang kereta yang kami tumpangi hanya sebanyak
jumlah duduk yang tersedia. Sial bagi kami, mau cerita pamer mudik naik
kereta EKSEKUTIF malah dapat kereta YUDIKATIF alias "yu udik, keringatan,
letih, dan fenat" Haha...ya...ya...maafkan kejayusanku.

Setelah hari mulai sore dan kereta hampir sampai Stasiun Tawang Semarang,
bapak yang protes soal AC tadi pagi kembali ke gerbong dan kembali
marah-marah karena tidak mendapatkan "kupon" dari petugas PT KA untuk
pengambilan uang pengembalian di loket nanti. Ya iya laah, pak, yang dapat
pengembalian kan yang tidak dapat fasilitas AC. Nasib dari bapak X itu
tetap menjadi misteri sampai saat ini.

Dua hari di rumah mertua, dua hari di rumah mertua istriku, tiga hari di
perjalanan, sungguh tujuh hari yang tak terlupakan. Seperti hal-hal baik
lainnya, semuanya terasa cepat berlalu. Kembali ke Jambi, kembali ke
pekerjaan, kembali ke rutinitas.

Turut berduka atas gempa di Pariaman. Sebenarnya saya tidak berkompeten
untuk memberi semangat hidup bagi para keluarga korban tapi saya tetap
mendoakan semoga mereka diberi kekuatan dan kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulislah apa yang ingin ditulis dan dan klik "Poskan Komentar" bila Anda sudah siap.

Konten Lainnya