Penelusuran google

Selasa, 25 September 2007

Ke Luar Negeri


Akhirnya, untuk kali pertama saya pergi ke luar negeri juga.
Tapi kali ini tujuannya bukan buat sekolah, belanja, nikah sama bule, atau lainnya seperti kebayakan orang. Yap! cuma mampir di perbatasan timur Indonesia alias sedikit menjejakkan kaki di tanah Papua Nugini (PNG).

Sebenernya tidak ada yang menarik di sana, tanah penuh ilalang, pagar besi perbatasan, gapura selamat jalan-selamat datang, pasar tradisional orang PNG dan Papua, petugas bea cukai yang lumayan ramah, petugas perbatasan dari PNG yang tidak bisa berbahasa Indonesia, dan penduduk lokal kedua negara yang lalu lalang.

Lepas dari semua itu, jika ada yang bertanya apakah saya pernah ke luar negeri, saya jawab "Ya!" dengan mantap.

Rabu, 19 September 2007

Landing Mode

Pada suatu hari saya dimarahi oleh seorang pramugari karena menyalakan telepon genggam di dalam pesawat. Pada saat itu saya mengaktifkan fitur flight mode.

"Pada saat take off dan landing sama sekali tidak boleh menyalakan hape walaupun flight mode!" katanya.

Kenapa produsen hape tidak menciptakan take off mode dan landing mode, ya?

Selasa, 11 September 2007

Budaya Kebaratan

Beberapa hari yang lalu, di bandara, ketika saya sedang check in penerbangan ke Jayapura, saya melihat seorang calon penumpang bule mengucapkan salam terlebih dahulu kepada petugas bandara sebelum menyerahkan tiket dan tanda pengenal.

"Good morning, how are you today?" katanya.

Pertanyaan: kenapa saya lupa mempraktekkan budaya ketimuran itu, ya?

Rabu, 05 September 2007

Stunt City Is Real!

Mendaki gunung, paralayang, arung jeram, menyelam, panjat tebing, dan berkemah adalah beberapa contoh kegiatan yang menjadi sarana penyegar di tengah rutinitas kehidupan kerja/sekolah yang menjemukan (rutin = menjemukan).

Beberapa persamaan kegiatan-kegiatan tersebut adalah berbeda dari rutinitas sehari-hari, memiliki resiko, serta memerlukan persiapan dan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini, resiko atau bahaya, dapat dikatakan menjadi tujuan utama karena bahaya yang terkandung (tersesat di gunung, jatuh dari ketinggian, tenggelam, dsb.) memicu adrenalin dan memberikan efek feel younger -tentunya bagi yang sudah tua.

Ternyata, ada sebagian masyarakat yang menjadikan resiko (dalam bentuk fisik seperti cidera, kecelakaan, dsb.) sebagai rutinitas. Yap, salah satu contohnya adalah para pengguna transportasi kereta api. Lebih spesifik lagi adalah pegawai, karyawan, dan pekerja yang sehari-hari menggunakan sarana transportasi kereta api dalam kota di Jakarta.

Penggunaan kereta api sebagai sarana berangkat-pulang ke dan dari tempat kerja banyak keuntungannya yaitu: terhindar dari macet, biaya transportasi lebih murah, dan jadwal teratur.

Sayangnya, menurut literatur kuliah dan kenyataan di lapangan, resiko berbanding terbalik dengan keuntungan. kelebihan di atas Ktentunya dilengkapi dengan kekurangannya yaitu: biaya murah = pelayanan kurang = fasilitas kurang = keamanan kurang. Kereta Rel Listrik (KRL) ekonomi dan "langsung sambung" (langsam) yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya pengguna.

Alhasil, pemandangan yang terlihat di setiap stasiun kereta api adalah berebut "ruang kosong" kereta. Yang penting masuk dan sampai tujuan, kenyamanan dan keamanan dikesampingkan. Beberapa praktek keekstriman yang dilakukan para penumpang kereta di antaranya: naik di pintu karena dalam gerbong sudah penuh, bergelantungan di lokomotif, dan yang paling bahaya (dan berangin) adalah duduk di atap gerbong.

Sebenarnya ada kereta yang lebih nyaman yaitu kereta AC yang harga tiketnya lebih mahal yaitu 5-10 ribu untuk satu kali perjalanan. Sebuah angka yang menurut para buruh pabrikan, pegawai biasa, dan pedagang sayur di pasar tidak ekonomis hanya untuk sekadar transport (dibandingkan dengan penghasilan perhari mereka). Lebih irit lagi, dengan adanya kelemahan sistem pengendalian internal di stasiun-stasiun kecil, penumpang gelap dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas (yang minim tersebut) tanpa membayar tiket (seharga Rp1.500). Apabila ada pemeriksaan tiket oleh petugas, cukup membayar seribu (masih untung Rp500) sebagai "uang aman". Setelah turun dari kereta dan keluar stasiun, seringkali tidak ada pemeriksaan tiket. Kalaupun ada, karena banyaknya penumpang, banyak (hampir semua) yang lolos pemeriksaan.

Itulah, hanya dengan seribu lima ratus rupiah, rakyat kecil yang tidak sempat dan tidak mampu (secara finansial) menikmati pendakian gunung, paralayang, arung jeram, menyelam, panjat tebing, dan berkemah dapat juga menikmati wahana yang tidak kalah bahayanya.

Berhimpitan Di Dalam Gerbong

Panas, tidak nyaman, rawan pencopet, polusi rokok, rawan pelecehan seksual, dan sesak nafas.

Bergantung Di Pintu

Berangin, tangan pegal, jika lengah bisa jatuh, dilempari batu oleh anak kecil penghuni perumahan kumuh bantaran rel kereta yang iseng.

Bergantung Di Lokomotif

Berangin, kena debu, tangan kotor (banyak oli), kena asap, berisik suara mesin dan bel kereta, jatuh.

Duduk Di Atap Gerbong

Berangin, kena debu, tempat kotor, jatuh, disuruh turun petugas keamanan stasiun.

Tinggal pilih saja.

Senin, 03 September 2007

Pembajak

Hari ini saya berkesempatan mencoba alat pengganda CD. Tidak seperti PC biasa yang menggunakan perangkat lunak untuk membakar/menggandakan CD, alat ini tidak menggunakan perangkat lunak khusus dan memang dibuat khusus hanya untuk menggandakan CD.

Bentuknya sepintas seperti CPU sebuah PC, hanya semua bagian depannya terdiri dari sebuah sebuah DVD ROM, tujuh buah DVD RW, dan sebuah alat pengganda CD/DVD yang dimensinya sama dengan DVD/CD ROM. Semau perangkat tersebut disusun dalam sebuah rak seukuran casing tipe ATX. Sebuah DVD ROM yang letaknya paling atas berfungsi sebagai pembaca CD/DVD master.

Pengoperasiannya cukup mudah, masukkan tujuh buah CD/DVD kosong dalam DVD RW yang ada kemudian masukkan CD/DVD yang hendak digandakan ke dalam DVD ROM. Setelah itu, serahkan semua pada perangkat keras pengganda CD/DVD. Tidak lebih dari 3 menit, tujuh CD/DVD hasil penggandaan sudah dapat digunakan. Waktu tiga menit tersebut untuk CD, mungkin untuk DVD lebih lama.

Selanjutnya kita hitung, tujuh CD dalam waktu tiga menit, berarti sekitar 140 CD dalam waktu satu jam. Jika pelaku pembajakan CD bekerja selama enam jam sehari, dia dapat memproduksi 840 CD sehari. Belum lagi kalau dia mempunyai lebih dari satu alat.

Pantesan Glodok tak pernah sepi.

n.b.
Sayang sekali saya tidak bisa menampilkan fotonya.

Senyum

Beberapa waktu yang lalu (tidak lebih dari 24 jam yang lalu), saya mendapat sms dari teman saya seperti berikut:

"Aslm,yo opo kabare rek?suwe gak krungu kbre!wis podo mangkat rung?gek ndang do dadi bandit berkostum kiai!!ha3x.Pesen ku:tetap tersesat di jalan yang benar!!"

Artinya kurang lebih adalah:

"Aslm, apa kabarnya? Lama tidak mendengar kabarmu! Sudah berangkat belum (ke tempat kerja yang baru; Kantor Perwakilan BPK Di Jambi)? Cepat-cepat jadi bandit berkostum kiai!!ha3x.Pasanku:tetaplah tersesat di jalan yang benar!!"

Mendapat sms tersebut, dalam hati saya hanya tersenyum karena tidak yakin dia serius. Sebuah say hi yang aneh bagi seorang kawan yang beberapa waktu (beberapa minggu) tidak bertukar kabar.

Sampai sekarang saya belum mengirim balasan.

Konten Lainnya