Penelusuran google

Kamis, 23 Juli 2009

Sabtu, 18 Juli 2009

Nyuci Motor Di Jambi


Bosen nungguin motor lagi dicuci, mending foto-foto.

Mau foto muka sendiri, kurang pede.

Mau foto mas-mas tukang cuci motornya, takut dimintai royalti.

"Mas, saya foto, ya. Nanti saya masukin blog saya tapi nyuci motornya gratis, ya."

Boro-boro digratisin, malah minta royalti.

Beralih dari makhluk hidup, sasaran fotoku berganti ke benda mati. Untung pengelola ga masang tanda peringatan "kamera disilang", jadi tidak ada satpam yang tiba-tiba datang pas lagi asyik-asyiknya memfoto.

Aha, duit di dompet memang abis tapi di saku masih ada Rp10.200. Masih mampu bayar tukang cuci motornya, lah.

Jumat, 17 Juli 2009

Masa Orientasi Siswa - Orientasinya Ke Mana?

Masa Orientasi Siswa, istilah yang terdengar sangat intelek, adalah sebutan untuk kegiatan di sebuah instansi pendidikan yang bertujuan untuk memandu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru (tentu saja ini definisi ngawur a la Azhar). Kenyataan di lapangan (emang maen bola apa?) tidak seintelek namanya. Kegiatan yang dilaksanakan terdiri dari sekian persen pengenalan siswa terhadap lingkungan baru dan sekian persen yang jauh lebih besar porsinya kegiatan yang lebih rendah dari "tidak berguna".

Atribut-atribut seni yang warna-warni: rompi karung, papan nama dari kertas karton bertuliskan julukan yang akan menghantui seumur hidup, membawa benda-benda antik (telor, mi instan), kaos kaki beda warna, dan segudang ide kreatif lainnya wajib dipakai adalah pesan implisit dari "kakak senior" kepada "adik yunior", "kamu, yunior, low life, kamu adalah sekedar orang bodoh yang tidak pantas disebut normal, kamu tidak pantas berdiri sejajar dengan kami, karena kalian lahir seabad setelah kami, permalukanlah diri kalian pada dunia untuk menunjukkan bahwa sekolah kalian sama tidak dewasanya dengan kalian, guru-guru kalian membiarkan kalian menjadi olok-olokan, dana kalian tidak akan pernah diterima di sekolah - jika masih bisa disebut demikian - ini"

Berbagai kegiatan "positif" yang membangun kemandirian dan semangat hidup: berjalan kaki membawa batu bata sejauh lima kilometer sampai mati, push up tiap kali berbuat salah (tentu saja "salah" versi "kakak senior"), berpanas-panas untuk mensyukuri kehangatan mentari, dipaksa bertingkah laku seperti robot dengan respon yang terbatas, dan mengerjakan sejuta tugas yang tidak rasional.

Siapa bilang, MOS tidak ada artinya, kami, "kakak senior", berusaha mati-matian membantu "adik yunior" yang kami sayangi agar menjadi seperti kami, dapat bertahan dalam kompetisi dan masuk ke dalam keluarga besar almamater. Kami menjadi dewasa sepereti ini karena dulu juga kami mengalami yang mereka alami.

Apa? Aspek psikologis dari hal-hal yang tidak rasional itu? Tidak perlu aspek psikologis, kami belum menginjak bangku kuliah, belum belajar mata kuliah psikologi. Guru-guru mendukung kami, kok, mereka kan lebih dewasa dan pasti lebih tahu latar belakang dari semua kegiatan yang kami sendiri kurang mengerti reasoning-nya.

Ada yang mati, ya? Kelelahan berjalan jauh ya? Itu, sih kebetulan saja pas sedang ikut MOS. setiap orang kan punya ajal. Kami tidak menuntut mereka mengorbankan hidup mereka kok. Coba tanya pembaca blog ini saja, mereka pasti setuju bahwa kami tidak dapat disalahkan atas kematian seorang anak yang memang sudah lemah fisiknya.

Pembaca sekalian langsung naik pitam, berdiri, meninju layar monitor, dan mencabut kabel power.

Megapolitan ke Megalitikum

Sial, mati lampu lagi.

Di Jambi, dan aku yakin di sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mati lampu bukan lagi hal yang jarang. Di zaman internet sudah jadi makanan pokok, mati lampu masih sering terjadi padahal hanya segelintir orang yang terlambat bayar listrik. Itupun kena denda dan stelah sekian lama tidak melunasi tunggakan dikenakan pemutusan hubungan listrik. Kayak pacaran saja, ada putusnya, nyambungnya setelah ada cinta (uang untuk bayar tagihan dan denda) lagi.

Terus kalo mati listrik terus siapa yang disalahkan? Jawabannya berbeda-beda tergantung persepsi orang.

Menurut orang kebanyakan, PLN-lah pelakunya karena tidak berusaha meningkatkan daya listrik yang didistribusikan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.

Menurut PLN adalah pemerintah yang kurang memberi subsidi sehingga harga listrik terpaksa ditekan, keuntungan semakin menurun dan malah rugi terus.

Menurut pemerintah adalah PLN, masyarakat yang tidak mematuhi gerakan 17-22 yaitu menghemat listrik antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00, serta industri yang secara ilegal menggunakan listrik bersubsidi.

Menurut produsen barang elektronik adalah pesaing-pesaing mereka yang tidak mampu membuat produk yang lebih hemat energi.

Menurut produsen barang elektronik lainnya adalah para ilmuwan yang lambat dalam menemukan energi alternatif, produsen-produsen ini tentu saja berniat menghemat biaya penelitian.

Menurut para ilmuwan, para penyandang dana yang pelit dalam memberi dana penelitian.

Menurut saya adalah saya sendiri yang memilih hidup untuk tergantung pada listrik.

Kali ini bukannya saya takut mati karena kehabisan pasokan listrik tapi rencana yang sudah disusun untuk hari ini tidak mempertimbangkan mati lampu.

Gara-gara mati lampu kerjaan jadi terhambat, jadwalpun jadi terhambat, energi serta ketidaknyamanan untuk menyusun rencana hari ini jadi sia-sia, semakin tidak nyaman saja.

Pekerjaan saya tidak begitu penting, tidak menentukan hajat hidup orang banyak, dan tidak berpengaruh pada kelangsungan hidup alam semesta. Sangat sederhana, laporan yang telah disimpan dalam bentuk file berekstensi pdf dibandingkan dengan laporan yang dicetak alias hard copy-nya untuk memastikan bahwa laporan yang diunggah ke situs sama dengan laporan yang dicetak.

Haus akan energi listrik, saya mengembara ke seluruh kantor mencari sejumput energi yang tersimpan di-UPS-UPS. Uninteruptable Power Supply, nama yang berlebihan untuk alat yang hanya sekedar memberi sedikit waktu bagi anda untuk menyimpan pekerjaan dan mematikan komputer ketika mati lampu.

Lumayan untuk sekadar menyambung hidup Si Laptop. Pekerjaan yang ringanpun dapat diselesaikan.

Jumat, 10 Juli 2009

Kampus Remang-remang

Serasa kembali enam bulan yang lalu, saya kira ujian semester dengan fasilitas lampu mati merupakan suatu kebetulan saja. Ternyata ujian semester kali ini terulang lagi dengan bobot ujian (ujian untuk melihat dalam gelap, maksudnya) yang lebih berat.

Hari pertama ujian semester dua sungguh mengenaskan.

Oh, ya, UIA (untuk informasi Anda, FYI) saya sekarang kuliah strata satu jurusan akuntansi tingkat empat semester dua. Daripada pusing-pusing memahami kalimat sebelumnya, mending kena migrain membaca lanjutan cerita saya. Ya, setidaknya yang pusing separuh kepala saja.

Semua materi ujian setengah semester (yang setengah semester sudah jadi masa lalu setelah ujian mid semester tiga bulan yang lalu) sudah saya lalap habis sampai muncul peringatan "The disk in the destination drive is full. Insert a new disk to continue." terus drive B saya keluarkan dan ganti dengan disk 5 1/2" yang baru... *masih terbawa film Transformers kemarin....

Sayangnya, materi yang paling penting untuk dapat mengerjakan soal tidak saya pelajari. Ilmu melihat dalam gelap memang sudah sangat langka. Kitabnya sudah lama hilang dicuri tukang sampah dan didaur ulang entah jadi kertas tisu atau kertas buram. Para pendekar yang menguasai ilmunya hanya mengurung diri di dalam kamar yang gelap karena merasa rugi di tempat yang terang kemampuannya tidak terpakai.

Ruang kelas tempat tempat kami ujian memang sudah dikutuk, lampunya mati dan hidup tidak beraturan. Setan-setan penghuni kampus rupanya sedang berlatih menakut-nakuti penghuni kampus. Saya merasa sedikit menyesal karena dalam perjalanan berangkat tadi saya sempat membayangkan seandainya lampu mati apakah ujian akan tetap dilaksanakan.

Dengan semangat membara para murid padepokan menghadapi ujian. Beruntung ponsel canggihku memiliki fitur yang kebayakan ponsel tidak memilikinya. Nokia seri RP320RB yang memiliki fitur lampu senter memang sangat berguna di daerah yang sering mati lampu.

Nasib kawan-kawan satu kelas tidak sebaik diriku, begitu intensitas cahaya turun mencapai titik yang sangat rendah untuk mata manusia normal, mereka tidak bisa melanjutkan mengerjakan soal. Begitu lampu kembali menyala, sejenak mereka bisa melanjutkan. Sengsara, baru segini saja sudah stres minta ampun apalagi di neraka ya...dibakar sampai jadi abu, kemudian disummon lagi terus dibakar sampai jadi abu lagi terus disummon dst....

Pihak universitas dhi. pengawas ujian tidak dapat berbuat banyak, lampu emergensi (lampu menggunakan sumber energi baterai yang dapat diisi ulang biasanya digunakan ketika mati lampu) saja tidak ada apalagi genset (generator penghasil listrik biasanya berbahan bakar bensin yang tentu saja digunakan untuk menghasilkan listrik ketika pihak PT. PLN (persero) tidak mampu menyediakan listrik untuk rakyat).

Aspirasi rakyat:

hai, para penghuni bukit Olimpus, kami tahu bumi terlalu luas untuk kalian kelola makanya sedikit memberi masukan (barangkali masih ada ruang untuk menampung masukan dari manusia yang tidak pernah makan Ambrosia ini) bahwa tempat dugem sudah mulai menjamur di daerah kampus kami yang lampunya mulai kedip-kedip, mohon ditertibkan. Genset juga dianggarkan ya......

Pendidikan moral hari ini:
- ... apa ya?

Konten Lainnya