Penelusuran google

Rabu, 20 Februari 2008

Biro Jodoh

Apa yang terjadi apabila dirimu hidup sendiri di atas muka bumi? Atau jumlah manusia di Bumi hanya beberapa gelintir saja? Itulah yang diriku rasakan ketika sebagian besar pegawai kantor menjalankan tugas di luar kota. Dari enam puluhan pegawai, hanya tinggal beberapa orang satpam, cleaning service, staf biasa, beberapa pejabat yang jaga kantor.

Membayangkan tiga puluh lima hari dalam keheningan (kok jadi puitis) sungguh terasa sunyi (ya iya lah). Untungnya, pekerjaan yang harus diselesaikan selalu ada.

Ketika pertama kali diciptakan, nabi Adam juga merasa kesepian. Semua kemewahan alam kahyangan dinikmati sendiri. Malaikat yang diciptakan tanpa nafsu tentunya tidak dapat menikmati kehidupan surgawi karena hidupnya hanyalah semata-mata patuh terhadap perintah Sang Mahakuasa. Sampai kemudian pada suatu hari, diciptakanlah Hawa yang dikloning dari tulang rusuk Adam untuk menemaninya. Tentu saja diriku tidak dapat mencongkel tulang rusuku sendiri untuk menciptakan teman ngobrol dikantor ataupun mencabut bulu ketek untuk dibuat kloningku sendiri seperti Sun Go Kong atau mengeluarkan Kage Bunshin No Jutsu (Shadow Replicant Technique) untuk membuat tiruan diriku seperti Naruto.

Untuk itulah mp3, hape, dan internet diciptakan. Mp3 dapat memberikan hiburan tanpa mengeluh, hape dapat mengirimkan pesan-pesan tidak penting kepada teman jauh, dan internet dapat memberikan jangkauan informasi yang tanpa batas. Tentu saja jika dirimu tidak hanya terkurung dalam chat tidak bermutu atau surfing tanpa akhir dalam friendster. Setidaknya diriku tidak (merasa) sendiri.

Di tengah kesibukan yang sunyi, salah seorang temanku dari Subbagian SDM meminta diriku untuk membantunya PDKT dengan seorang cewek. Diriku yang masih jomblo ini bertekad kuat untuk menjadi Mas Comblang yang baik.



Inilah foto temanku, seorang pegawai yang masih sangat muda dan tentunya masih memiliki ciri-ciri pubertas yang kental dan idealisme yang aneh-aneh. Berpose porno di dalam kantor adalah salah satunya. Untungnya foto ini diambil malam hari sehingga pegawai lain sudah pulang dan tidak ada ibu-ibu yang akan berteriak melihat penampakan yang satu ini saat hendak memakai mesin foto kopi. Untuk melindungi identitas pelaku pornoaksi ini, mukanya (dalam foto) saya hancurkan.




Cewek yang diincar masihlah sangat belia. Hal itu bisa dilihat dari seragam SMA yang dikenakannya. Dirinya juga sama narsisnya dengan si cowok, suka berfoto ngga jelas dengan background indahnya tembok kantor. Mohon maaf, kecantikannya tidak dapat dinikmati secara umum karena mukanya juga saya hancurkan untuk melindungi kehormatannya.

Dengan jampi-jampi yang tidak ribet, lirik sani-lirik sini, sentuh sana-sentuh sini, copy, paste, crop, blur, mask, dll, hampirlah diriku berhasil menyatukan mereka berdua. Dikarenakan tempilan widescreen laptop yang terlalu canggih, diriku melakukan salah perhitungan dalam mengukur lebar badan si cewek. Jadilah dirinya terlalu kerempeng dan terlihat palsu.



Akhirnya temenku melancarkan protes dan mengajukan naik banding karena tidak puas dengan hasil cetakan fotonya. Akibatnya, diriku harus menyempatkan sedikit waktu tambahan untuk dapat menyempurnakan cinta mereka dalam pelukan penuh kasih sayang. Yap, dengan kemampuan supranaturalku, diriku berhasil memperbaiki bentuk tubuh si cewek dan menghadirkan sebuag mahakarya
cinta yang tidak akan lapuk oleh masa (kecuali di"shift+del", format ulang, dan ritual pembersihan harddisk lainnya).



Jikalau ada yang berniat menyandingkan dua orang yang belum tentu saling mencinta seperti Ahmad Deni dengan Wulan Kwok misalnya, cukup kirimkan saja foto keduanya dengan pose yang pas dan sedikit mesra untuk kemudian digabungkan.

Trilogi TUP Ep 2 - Bank

Dengan langkah mantap kumelangkah menuju ruangan Pak Eko. Kali ini tidak akan salah orang lagi karena kedelai tidak akan terperosok dua kali di lubang yang sama.

Prof. Dr. Mangkurodjo, seorang ilmuwan, nekat melakukan penelitian di pedalaman hutan Kalimantan. Selama berhari-hari dia mengamati komunitas manusia kanibal yang hidup di tengah hutan. Tentunya observasi tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Suatu hari, dia mengalami kejadiaan naas. Pada saat melakukan pengamatan dari balik semak-semak, kakinya mengenai perangkap yang telah disiapkan oleh penduduk lokal yang sudah mencium kedatangan makhluk asing sejak kedatangan Prof. Dr. Mangkurodjo.

"Ternyata ini sumber bau-bau kecut yang selama ini mengganggu kita," kata kepala suku dengan bahasa pedalaman. Prof. Dr. Mangkurodjo diikat di tiang eksekusi khas penghuni pedalaman. Kakinya berpijak pada tumpukan kayu yang disiapkan untuk membakar korban di atasnya menjadi daging pangang yang lezat. Mulutnya disumpal dan bajunya dilepas meninggalkan adegan bugil yang menyedihkan. Warga suku berbaris mengelilingi tanah lapang tersebut, bersiap untuk pesta.

"Pongkah atau mati," kalimat yang terucap dari mulut kepala suku. Bau mulutnya penuh bakteri dan menusuk hidung, Profesor memalingkan muka berusaha menjauhi sumber bencana itu.

"Pongkah atau mati," ulang kepala suku sambil semakin mendekatkan muka baunya ke wajah Profesor. Bau mulutnya semakin menjadi-jadi.

Semua warga suku diam menunggu keputusan dari sang ilmuwan. Kepala suku melotot menunggu dengan tidak sabar setiap jawaban yang keluar dari mulut sang ilmuwan.

"Pongkah," lirih sang ilmuwan. Baginya, pongkah, apapun itu, terlihat lebih baik daripada mati.

"Pongkah!" jerit sang kepala suku kepada segenap rakyatnya.

"pongkaaah!" sambut para kanibal tersebut dengan antusias kemudian menari a la suku pedalaman mengitari sang korban.

Beberapa hari kemudian sang profesor diselamatkan tim penyelamat yang dikirim oleh universitas karena beberapa hari terakhir tidak menerima laporan dari sang profesor; menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Kecurigaan mereka tepat sehingga tim penyelamat datang tepat waktu mendapati sang profesor sedang terbaring di pantai; menderita karena telah menjadi korban sodomi orang sekampung.

Setelah menjalani perawatan intensif fisik maupun mental, prof. Mangkurodjo memberikan wejangan kepada prof. Mangkurondho, penerusnya, yang sedang menjenguknya sebelum berangkat melanjutkan penelitian yang terhenti.

"Mangkurondho," katanya lemah, "kalo kamu ditangkap orang pedalaman kanibal itu,apapun tawaran mereka, mending kamu pilih mati."

Dengan persiapan yang matang dan sedikit wejangan dari pendahulunya, Mangkurondho berangkat menuju hutan Kalimantan.

Singkat kata, singkat cerita, Mangkurondho mengalami nasib yang sama, dia tertangkap dan dihadapkan pada pilihan yang sama juga.

"Pongkah atau mati," kalimat yang terucap dari mulut kepala suku. Bau mulutnya penuh bakteri dan menusuk hidung, Profesor memalingkan muka berusaha menjauhi sumber bencana itu.

"Pongkah atau mati," ulang kepala suku sambil semakin mendekatkan muka baunya ke wajah Profesor. Bau mulutnya semakin menjadi-jadi.

Semua warga suku diam menunggu keputusan dari sang ilmuwan. Kepala suku melotot menunggu dengan tidak sabar setiap jawaban yang keluar dari mulut sang ilmuwan.

"Mati," lirih sang ilmuwan. Mengingat cerita Prof. Mangkurodjo, lebih baik mati daripada dipongkah.

"Mati!" jerit sang kepala suku kepada segenap rakyatnya.

"Matii!" sambut para kanibal tersebut dengan antusias kemudian menari a la suku pedalaman mengitari sang korban.

Akhirnya, Prof. Mangkurondhopun dipongkah sampai mati.

(sumber: cerita dari mulut ke telinga, otak, mulut, dan telinga lagi)


Kali ini, semua menjadi lancar. Surat dispensasi dari Kanwil telah diperoleh, SPM dibuat dan diajukan ke KPPN beberapa hari kemudian, dan SP2D dari KPPN terbit di hari berikutnya. Next stage, ngambil uang.

"Bisa nanya saldo ngga', Bu?" tanyaku
kepada seorang petugas bank.

"Nomor rekeningnya, Pak?"

"081575796xxx."


"satu juta sekian sekian."

"Serius?"

Akhirnya dengan sedikit malas diriku masuk ke dalam (salah satu ruangan yang terletak di belakang teller, melalui pintu di sebelah area teller) dan menemui pegawai bank dengan jabatan yang lebih tinggi.

"selamat siang, Pak," sapaku (mencoba) ramah kemudian memperkenalkan diri, basa-basi, serta mengutarakan keluhan "... tapi kayaknya belum masuk rekening, padahal SP2D dari KPPN sudah terbit..."

Setelah melalui percakapan singkat dan sedikit bertanya kepada stafnya, Pak Bejo (sebut saja begitu) mengatakan bahwa memang transfer uang ke rekening bendahara belum dapat dilakukan dan menjanjikan masalah ini akan diselesaikan hari ini juga dan besok pagi uang sudah dapat diambil.

Keesokan harinya....

Hari ini adalah hari yang langka karena seluruh planet-planet terletak dalam kedudukan yang sejajar. Tidak, itu tidaklah benar tetapi hari ini adalah hari yang sungguh penuh kebetulan karena dengan kedatangan tamu penting dari kantor pusat, seluruh prajurit pemeriksa yang sedang berpencar di daerah penugasan masing-masing diinstruksikan oleh Bos Besar untuk kembali dan menyambut Sang Tamu. Dengan demikian, jika hari ini saya berhasil mencairkan uang untuk biaya pemeriksaan, dana tersebut dapat segera didistribusikan langsung kepada tim-tim bersangkutan tanpa harus melakukan ritual transfer antarrekening yang ribet dan melelahkan.

Dengan persiapan doa seadanya, dua lembar cek (nominal pengambilan separuh dari nilai yang diperlukan telah terlanjur tertulis di satu lembar sehingga diperlukan satu lembar lagi untuk menutup separuhnya), serta seorang bodyguard (satpam) yang sangar (tapi ramah), diriku berangkat pagi-pagi ke bank.

Dengan sedikit basa-basi dan verifikasi cek yang prosedural, jumlah uang yang diperlukan dapat diambil walaupun sedikit menunggu.

"Tunggu sebentar, ya, Pak," kata Pak Untung (teller bank dengan nama samaran) sambil masuk ke ruangan lain yang aku perkirakan adalah tempat penyimpanan uang.

Kemudian beliau kembali dengan tergopoh-gopoh, "Pak ceknya belum diberi tanggal," sambil menyodorkan cek yang dimaksud.

Dengan sedikit gerakan diriku membubuhkan tanggal di sebelah kanan atas cek kemudian Pak Untung kembali kedalam.

Kedua kalinya dia datang dengan kecepatan yang tidak biasa (sebut saja agak terburu-buru), "Yang ini juga belum diberi tanggal, Pak," sambil menyodorkan lembaran cek kedua.

Arrrg (frase standar untuk mengungkapkan kekesalan), kenapa tidak dicek dari awal..., harusnya petugas bank memeriksa kelengkapan dokumen (tanda tangan, tanggal, nama, dsb.) dari awal. Tapi diriku maklum dengan usianya yang kemungkinan besar mendekati kepala lima, diriku yang masih belia saja suka ngeblank.

Suatu pagi, diriku hendak berangkat ke kantor dengan penuh semangat a la Spongebob. Semua persiapan sudah dilakukan; absen pagi (boker), pake baju (ya iya lah), menyisir rambut, memakai minyak wangi (dengan harga semurah itu, wangi yang timbul hanya sebatas sugesti aja), memakai hand-body lotion (sedikit metroseksual gapapa kan), bawa laptop (pinjeman kantor), bawa kunci laci kantor dan kunci motor, serta mematikan lampu kamar.

Keluar kamar, menutup pintu.

Arrrg, kunci kamar tertinggal di dalam. Bagaimana mengunci pintu tanpa kuncinya?

Membuka pintu yang susahnya bukan main (knopnya sudah agak rusak), mengambil kunci pintu, keluar kamar, mengunci pintu, segera hendak menstater motor.

Arrrrrrrrg, kunci motor tertinggal di dalam kamar ketika mengambil kunci kamar.

Membuka pintu yang susahnya bukan main (knopnya sudah agak rusak), mengambil kunci motor, keluar kamar, mengunci pintu, segera menstater motor.

Akhirnya diriku berangkat kantor a la semangat Squidword.



Akhirnya,uang yang diperlukan dapat segera dibawa pulang.

=============

Yang dimaksud TUP di sini bukanlah Tante-tante Unjuk Paha, Tukang Ukur Pinggang, Topi Untuk Pajangan, dan istilah ngga' mutu lainnya tetapi Tambahan Uang Persediaan.

Jadi begini ceritanya, setiap instansi pemerintah (sebut saja satuan kerja - satker) memiliki anggaran untuk digunakan selama satu periode (yang lamanya satu tahun). Dari sekian rupiah anggaran tersebut, ada sepersekian (sesuai ketentuan) yang boleh dicairkan (ditransfer dari rekening negara) ke rekening bendahara satker tersebut. Uang tersebut digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang jumlahnya kecil (seperti pembelian peralatan kebersihan, perbaikan mobil dinas dan apapun yang nilainya kecil yang sudah teranggarkan) dan disebut Uang Persediaan (UP). Jika UP sudah hampir habis, bendahara satker dapat mengajukan reimburst ke KPPN dengan melampirkan rincian pembelanjaan yang sudah dilakukan. Pengelolaan UP mirip petty cash - istilah yang lebih familiar bagi para akuntan - dalam lingkup yang lebih luas.

Ada kalanya, bendahara memerlukan uang yang sangat banyak untuk membiayai kegiatan yang sudah

dianggarkan tapi sifatnya mendesak seperti kegiatan pmeriksaan laporan keuangan yang dilakukan serentak oleh beberapa tim sekaligus (terhadap beberapa laporan keuangan pemerintah daerah sekaligus) dan menuntut biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah Tambahan Uang Persediaan (TUP) diperlukan. Kegiatan yang dibiayai dengan TUP harus sudah selesai dalam waktu satu bulan sejak SP2D diterbitkan dan sisa dana harus ditransfer ke rekening negara.

Sabtu, 02 Februari 2008

Trilogi TUP - Ep I: Kanwil

Kini pekerjaanku semakin penting aja, melibatkan uang rakyat ratusan juta rupiah dan tentu saja menguasai hajat hidup orang banyak. Masalah posisi barisan di medan perang, diriku masih tut wuri handayani. Para penghuni kantor sudah menyebar ke daerah masing-masing sesuai strategi dari bos besar, Kepala Perwakilan, untuk melaksanakan amanat undang-undang empat lima, amanat undang-undang 15 tahun 2006, dan tentu saja amanat rakyat seantero kerajaan. Dengan bekal seadanya dari Subbagian Keuangan, mereka berangkat dengan menempati pos masing-masing. Walaupun ransum seadanya, amunisi yang dibawa cukup lengkap: sekolah bertahun-tahun sampai bosen, diklat auditor ahli selama dua bulan, diklat-diklat teknis yang tak terhitung jumlahnya (males ngitung), buku-buku peraturan, soft copy peraturan-peraturan, manajemen pemeriksaan dari kantor pusat, dan laptop pinjaman dari kantor, serta pidato yang berapi-api dari bos.

Tinggallah diriku sendiri, jaga pos garis belakang, jaga kantor, dan jaga mes yang ditinggalkan.

Kepala Subbagian Keuangan:
"Zhar, kamu ngga' usah berangkat PS dulu ya, bantuin ibu di keuangan."

Azhar:
Diam dan pura-pura berfikir.
"Ya, Bu."


Tugas pemeriksaan setempat (PS) kali ini berdurasi empat puluh hari kalender yang artinya hari Sabtu dan Minggu dihitung kerja, tidak libur, dan tentunya ada bayarannya. Sedikit melegakan hatiku, ketidakikutanku membuat diriku merasa tak bersalah untuk menghabiskan Sabtu-Mingguku untuk kepentingan pribadi: tidur, bersih-bersih, tidur, makan, tidur, main game, tidur, nonton DVD, tidur, bengong, dan akhirnya jadi kepompong. Sayang, hari Seninnya tetap menjadi ulat lagi.

Karena jumlah prajurit yang banyak dan jumlah hari yang juga banyak (biasa disebut mandays), penugasan kali ini menuntut biaya yang tidak sedikit. Untuk mencairkan uang yang begitu banyak memerlukan ritual yang tidak biasa. Pertama, minta dispensasi kepada Pak Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (sebut saja Kakanwil DJPb) selaku wakil Bu Sri Mulyani ditingkat provinsi. Dengan kemampuan mengetik sebelas jariku, konsep surat dan rincian anggaran biaya jadi dalam waktu singkat (maklum liat konsep surat sebelumnya). Setelah mendapat acc bos kecil,bos sedang, dan tanda tangan bos besar, surat tersebut segera diantarkan menuju tujuannya.

Untuk menghindari pemborosan, tugas remeh tersebut cukup diserahkan kepada satu orang, yaitu diriku sendiri. Seperti biasa, belalang tempur plat merah sebagai kendaraan operasional kantor menjadi teman yang dapat diandalkan. Karena hari ini tidak melawan monster anak buah Gorgon, KOtaro Minami tidak perlu berubah menjadi Kamen Rider RX, cukup memakai baju kantor saja.

Misi hari ini:
1. mengantar surat permohonan dispensasi ke Kanwil,
2. mampir ke BNI, setor pajak, print buku tabungan, dan konsultasi masalah pembukaan rekening untuk gaji,
3. mampir ke BRI, print rekening koran bulan ini,
4. mampir ke warung, ya buat makan siang (termasuk sarapan) lah, dan
5. jumatan.

Azhar:
"Mau cetak buku tabungan, Pak."

Pak Teddy, petugas bank:
"Silahkan duduk, Pak."

Diam beberapa detik. Backsound: suara percakapan nasabah bank dan printer dot matrix yang sedang bekerja.

Pak Teddy lagi:
"Gajinya sudah ditransfer, Pak."

Sedikit terkejut tetapi senang,"Oh,ya."

Pak Teddy mengklak-klik mousenya.

"Transfer dari Jakarta, ya, Pak."

Sial,dia bisa tahu tiap detil transaksi.

"sudah berkeluarga?" Pak Teddy mulai meng-OTT-kan pembicaraan, sedikit mengetuk privasi, menyalahi SOP (karena ada nasabah lain yang masih menunggu)
.

"Belum, Pak."

"Sudah punya calon?"

Semakin
OTT.

"Belum, Pak,"
diriku copy-paste dari dialog sebelumnya. "Oh, ya, Pak, gimana mekanisme pembayaran gaji yang langsung ditransfer ke rekening tiap pegawai? Tolong dijelaskan, Pak." Maklum, esmud merangkap artis, menghindari wawancara yang tidak perlu.


Mission Accomplished, diriku kembali menjadi pegawai indoor.

Ibu Kasubbag aka Bos Kecil:
"Zhar, hari ini kamu ngga' ngambil duit?" seperti biasa, Ibu bergaya gaul.

Hari ini tanggal satu Februari yang berarti (seperti tanggal satu bulan-bulan lainnya) saatnya gajian. Tidak seperti pegawai negeri atau calon pegawai negeri yang mendpatkan gaji dan tunjangan via transfer, tenaga kontrak di kantor masih mendapat remunerasi secara tunai.

Pekerjaan yang sulit dimulai: menulis cek. Banyakaturannya, "Jangan dilipat", "Tanda tangan dan cap perusahaan tidak boleh melewati garis ini", tidak boleh ada coretan, tidak boleh ada kesalahan. Seperti anak SD, diriku menulis nominal angka dan hurufnya dengan hati-hati. Last but not least, membubuhkan tanda tangan. Benar, sodara-sodara sekalian, diriku menandatangani cek. sebelumnya, Bos Sedang sudah membubuhkan tanda tangan. Untuk alasan pengendalian, penanda tangan cek harus dua di antara tiga orang yang spesimen tanda tangannya sudah didaftarkan ke bank.

Kali Pertama mencairkan cek.

Kasir bank:
"Ini yang tanda tangan siapa? Kok beda?"

Azhar:
"Bendaharanya, Bu. Ganti, Bu. Kemarin spesimen tanda tangan yang baru sudah diserahkan ke Bu wiwit."

Karena antara lantai I dan lantai II tidak online, terpaksa diriku dan pelanggan lain menunggu petugas bank untuk mengecek spesimen tanda tangan.

Dengan gaya yang tidak dewasa diriku bersama teman kantor yang merangkap sebagai pengawal memasukkan beberapa bundel uang ke dalam tas. Sedikit terburu-buru dan gugup. Walaupun begitu, sempat melirik ke pelanggan di sebelah yang sedari tadi menunggu giliran, cakep si, tapi ibu-ibu. Akhirnya uang tersebut dapat dengan selamat sampai brandkas dan tim yang akan melaksanakan tugas pemeriksaan dapat sedikit memperoleh sangu di muka.

Kali kedua mencairkan cek, di cabang lain yang lebih dekat.

Kasir bank:
"Ini yang tanda tangan siapa? Kok beda?"

Azhar:
"Bendaharanya, Bu. Ganti, Bu. Kemarin spesimen tanda tangan yang baru sudah diserahkan."

Antara lantai I dan lantai II saja tidak online, apalagi antarcabang. Terpaksa diriku dan pelanggan lain menunggu petugas bank untuk menghubungi kantor pusat (yang di Jambi) dan meminta spesimen tanda tangan segera dikirim via intranet.

O, ternyata mereka sudah online. Tapi kenapa data nasabah tidak segera dimutakhirkan?


Kali ini persiapannya lebih matang, dikawal satpam beneran, bro, lengkap dengan seragam khasnya. Norak, menurutku. Padahal cuma ngambil dikit. Seperti biasa, bank selalu rame pengunjung. Diri ini sudah kebal mengantri.

Pinggangku bergetar, rupanya ada telepon masuk dari Ibu Kasubag.

"Zhar,masi di mana?"

"Masi di bank, Bu, ngantri."

"Nanti mampir Kanwil ya, temui Pak Eko, katanya ada koreksi."

"Ya, Bu."

Setelah uang diterima, diriku bersama pengawal meninggalkan nasabah lain yang masih mengantri (ngapain nunggu mereka) menuju Kanwil.

"Selamat sore, Bu. Maaf, Pak Eko yang mana, ya?"

"Yang itu," kata ibu-ibu pegawai kantor yang kutemui sambil menunjuk ke ruangan sebelah ke arah seorang paruh baya yang sedang baca koran, terlihat jelas dari balik kaca pembatas ruangan.

Dengan sigap a la kopassus diriku melangkah menuju orang yang dimaksud.

"selamat sore, Pak Eko. Saya dari BPK, Pak."

"Pak Eko yang itu, sambil menunjuk ke arah meja sebelah.

Dengan ackward a la hansip diriku melangkah menuju orang yang dimaksud yang sebenarnya.

Konten Lainnya