Penelusuran google

Minggu, 27 April 2008

UAN (Ujian Apa Nyontek?)

Tipu muslihat seputar ujian akhir nasional (UAN) akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan yang terlalu hot untuk hanya sekedar info biasa. Memang kecurangan-kecurangan yang terjadi - sebut saja 'kebocoran soal' sebagai contoh - sudah menjadi langganan dari tahun-tahun sebelumnya (dan sebelumnya, sebelumnya lagi, dan sebelumnya semenjak ujian semacamnya ada pertama kali) tetapi akhir-akhir ini bau asapnya semakin menusuk hidung sehingga semakin banyak yang terungkap dan muncul ke media.

Salah satu penyebabnya adalah standar nilai kelulusan yang semakin tinggi dan mengkhawatirkan bagi banyak siswa yang memiliki prestasi pas-pasan (atau di bawah pas-pasan). Dengan semangat keputusasaan, banyak calon calon-sarjana (belum lulus SMA dan belum masuk kuliah) yang menempuh jalan pintas dengan "membeli" kunci jawaban kepada oknum yang tentunya mempunyai akses ke soal ujian.

Jumlah uang yang dikeluarkanpun tidak sedikit. Sebut saja nilai enam juta rupiah, sebuah nominal yang cukup besar (tetapi relatif sangat kecil dibandingkan uang yang hilang karena harus menunggu ujian susulan tahun depan; dengan asumsi kunci jawaban tersebut akurat, sang siswa dapat lulus SMA dan kuliah tepat waktu, serta mendapat pekerjaan) untuk untuk serangkaian kunci jawaban ilegal yang dikirimkan oleh 'nara sumber' via sms beberapa jam sebelum ujian berlangsung (saya menonton Reportase Investigatif Sabtu kemarin). Sayang, acara yang sarat kamera tersembunyi tersebut tidak mengungkapkan kekuratan kunci jawaban yang diperoleh (just wondering).

Tidak hanya siswa curang dan oknum laknat pembocor kunci jawaban yang menjadi tokoh jahat di sini, dewan guru dan segenap staf sekolahpun menjadi pemeran antagonis yang juga memegang peran dalam lingkaran mafia. Dengan segala cara, mereka 'membantu' siswanya agar dapat lulus (atau sekedar lolos?) UAN yang mengerikan. Sebut saja memberikan kunci jawaban dan memberikan tips-tips mencontek yang baik, sebuah daftar kejahatan yang berkopkan kebaikan. Beberapa tenaga pendidik beserta kepala sekolahpun beberapa waktu yang lalu berhasil masuk tivi karena tertangkapbasah sedang memodifikasi lembar jawaban siswa. Sungguh, itikad baik Departemen Pendidikan Nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lewat standardisasi nilai UAN telah dikhianati sampai ke akar-akarnya.

"Kalau mereka tidak lulus, kan kasihan," ungkap seorang kepala sekolah yang dimozaik mukanya dan dibaskan suaranya dalam acara stasiun tivi swasta yang saya sebut di paragraf tiga di atas. Benarkah demikian alasan mereka? Bukan, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, tidak setulus itu mereka berbuat kejahatan.

Kinerja, sebuah isu yang mulai menghangat di kalangan instansi pemerintahan. Sebut saja 'anggaran berbasis kinerja' yang dirilis dengan Undang-undang No. 17 tahun 2005 tentang Keuangan Negara ;menggantikan 'anggaran berimbang' buatan orde baru yang berhasil menyembunyikan trilyunan hutang negara selama puluhan tahun dan 'Pemeriksaan Kinerja' yang menjadi tugas baru BPK sesuai amanat UU No. 15 tahun 2007 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 'Kinerja' sangatlah erat dengan ekonomis-efisien-efektif (3E) yang tersohor itu. Khusus dalam hal keefektifan, indikator apa lagi yang bersifat kuantitatif mengenai keberhasilan pendidikan selain 'persentase siswa yang lulus'?

Anda benar sekali, banyaknya siswa yang lulus menunjukkan tingkat kinerja sekolah (segenap staf, guru, dan kepala sekolah) dalam mendidik siswanya. Kinerja yang baik menjanjikan keuntungan material yang menggiurkan - mendapat nominal bantuan yang lebih besar, promosi yang lebih baik bagi segenap guru dan kepala sekolah, kesan yang baik dari masyarakat -, serentetan prestasi (yang sangat) semu bagi pihak sekolah yang dengan tega mempertaruhkan masa depan siswanya (coba kalau ada siswa yang tertangkap basah mencontek atau kelulusan mereka ditunda karena UAN harus diulang sebagai akibat kecurangan yang dilakukan pada saat pelaksanaan). Sudah gitu, para siswa malah merasa diuntungkan. Mereka jahat sekali yah.

Rabu, 16 April 2008

Konten Lainnya