Penelusuran google

Selasa, 20 Oktober 2009

Ice Skating - dalam Kenangan

Minggu yang lalu saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu pelatihan yang diadakan oleh kantor di Bandung. Selama seminggu di sana kami menginap di sebuah penginapan di jalan Dipati Ukur. Walaupun penginapan kami tidak berbintang-bintang maupun berbenda angkasa lainnya tapi lokasinya sangat strategis yaitu dekat daerah Dago. Entah nama apa Dago sebenarnya, apakah nama kelurahan ataupun istilah peninggalan kompeni, saya tidak tahu.

Karena waktu pelatihan hanya sampai sore hari, malamnya kami bisa jalan-jalan menjelajahi Kota Bandung. Bagi para sopaholik, Bandung adalah surganya. Sepanjang jalan Ir. H. Juanda a.k.a. Dago berderet ep'o-ep'o (Factory outlet) yang menjual pakaian-pakaian bermerk dengan harga yang katanya relatif miring. Tak hanya kami warga Jambi yang jadi orang udik di sini, para pengendara plat nomor B pun membanjiri Bandung di akhir pekan.

Salah satu target (segitunya...) saya di Bandung adalah mengunjungi museum Geologi Istana Plaza untuk bermain seluncur es. Maklum orang udik, hamparan es maha luas (...lagi-lagi hiperbolik...) hanya bisa kami lihat di tivi-tivi. Mana ada salju atau sungai yang membeku di kampung kami Hawai sana.

Agar lebih intelek dan tidak mau dibilang gagap internet, saya gugel saja "ice skating bandung" tanpa tanda petik dan hasilnya saya mendapat pencerahan beberapa di antaranya adalah dari streetdirectory.com dan di bandungdailyphoto.com. Berbekal hasil telusuran baik lewat mesin pencarian maupun wawancara dengan teman yang berasal dari Bandung, semangatlah kami menerjang panasnya Kota Kembang menuju Jalan Pasir Kaliki yang jauhnya kira-kira dua puluh menit dari penginapan. Istri saya yang menyusul suaminya dari Jambi di akhir pekan saya ajak turut serta berpanas-panas ria.

Sesampainya di Istana Plaza, kami segera menuju lantai teratas, tempat yang disinyalir menjadi pusat hiburan bagi para peselancar es baik pemula maupun kawakan. Lantai empat sudah kami sisir tetapi batang hidung si lapangan es belum ketemu juga. Gila, bagaimana bisa pantat segede lapangan bola bisa disembunyikan dari mata jeli kami. Jangan-jangan hanya orang-orang yang berhati bersih saja yang dapat melihat keberadaannya atau memang lokasinya berada di dimensi lain sehingga kami harus menemukan gerbang antardimensi agar bisa masuk.

Setelah dua kali meneglilingi ka'bah kami lelah dengan penyamaran sebagai warga-bandung-yang-tidak-perlu-bertanya-ketika-mau-jalan-jalan dan mengakui keudikan kami dan menyerahkan diri ke petugas berwenang. Pria berseragam putih biru itu tersenyum mengejek ketika kami mengkonfirmasikan keberadaan arena seluncur es yang menurut legenda berada di lantai atas pusat perbelanjaan ini.

"Sudah tidak ada, sudah lama...," jawabnya singkat.

Setelah dicek lagi ternyata memang om gugel ngasih referensi yang sudah kadaluarsa. Untung masih ada alternatif lain....



Sabtu, 03 Oktober 2009

Kebutuhan Primer



Rise of the Batik

Pernah membaca novel berseri berjudul Harry Potter *? Apa yang membuat Sang Tokoh Utama menjadi istimewa? Kekuatan sihirnya? Kayaknya kemampuannya bisa-biasa saja. Kemampuannya dalam ilmu ramuan? Kenyataannya, nilai mata pelajaran Ramuannya tidak istimewa. Keahlian meramal? Harry Potter (yang selanjutnya disebut Harpo) sama sekali tidak bisa meramal. Kegantengannya? Apa yang bisa diharapkan dari seorang pemuda miskin berkaca mata dan rambut awut-awutan? Keberaniannya? Masih ada entah berapa juta penyihir lainnya yang jeuh lebih bernyali.

Ya, berterima kasihlah kepada V*******t, seorang penyihir jahat yang mencoba membunuh Harpo yang sebelumnya telah dimantrai oleh ibunya sehingga mantra sihirnya membalik, hampir membunuhnya, dan bahkan menyebabkannya dalam kondisi paling hina, jiwanya terhubung dengan seorang anak kecil yang tidak berdaya.

Sekarang, apa spesialnya sebuah BATIK? DIbandingkan dengan warisan leluhur lain, batik hanyalah salah satu item di antara ribuan icon budaya lainnya. Di kalangan anak muda, batik dan kebanyakan hal-hal yang bersifat tradisional lainnya kalah dengan mode gaul versi mereka. Pake batik jadi kelihatan tua, pake batik ketinggalan zaman, pake batik.... Batik mulai dilupakan, saudara-saudara.

Beruntung, beberapa pihak pihak masih berusaha menjaga kelestarian batik. Masih banyak orang kondangan pakai batik, SBY dan banyak orang lainnya (yang kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tua) memakai batik dalam acara-acara resmi, pegawai Depkeu tiap hari Jumat pake batik dan PNS lainnya juga melakukan hal yang sama, PNS pemda di wilayah Provinsi Jambi tiap hari Kamis pake batik, Josh W. Bush ketika berkunjung ke Indonesiia dipaksa pake batik, dll.

Akhir-akhir ini popularitas batik mencuat, muncul di berita-berita, bahkan muncul di infotainmen, popularitasnya menyamai kasus perceraian KD. Penyebabnya adalah salah satu negara tetangga diklaim telah mengklaim batik sebagai bagian dari budayanya. Alhasil, semua pengklaiman mencuat ke permukaan. Pulau-pulau yang dijual ke negara lain, lagu tradisional yang juga "adopsi" negara lain, tari Pendet yang secara "tak sengaja" masuk dalam sebuah iklan kebudayaan sebuah negara yang ditayangkan secara global, bahkan lagu kebangsaan yang dituding merupakan contekan dari lagu dalam negeri.

Barang bekas yang sekian lama teronggok di belakang rumah dan akhirnya terlihat lebih mengkilap dan berharga setelah dipungut oleh kolektor barang bekas. Mungkin kita harus berterima kasih kepada kolektor tersebut karena telah menunjukkan bahwa sesuatu yang telah lama kita lupakan sebenarnya adalah benda yang sangat berharga. Sesuatu yang seharusnya kita simpan di lemari kaca yang megah dan kebersihannya selalu dijaga, dikagumi dan dibanggakan oleh seluruh penghuni rumah, serta dipamerkan kepada setiap tamu yang mampir.

Perebutan kebudayaan ini merupakan hikmah bagi kita. Saya saja sudah lupa tari Pendet asalnya dari mana jika tidak diberitakan dengan heboh. Seorang penyihir amatir menjadi sangat terkenal karena apa yang dilakukan oleh musuh bebuyutannya. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia adalah penyihir dan bermusuhan dengan negara lain. Saya hanya bermaksud mengatakan bahwa alangkah baiknya jika apa yang kita banggakan itu adalah hasil dari usaha kita sendiri untuk membuatnya menjadi kebanggaan bukan cuma masalah kehormatan karena kita tidak mau dianggap pengecut karena diam saja barang milik kita direbut orang lain.

Pemilik Rumah: "Ini, loh, pak yang namanya Batik. Cara membuatnya sangat unik.... Motifnya juga bagus."
Tamu: "Ah, bapak sekarang bisa bilang begitu. Dulu sebelum diambil sama Bapak XXX yang kolektor itu bapak cuma meletakkannya di belakang rumah...."
Pemilik rumah: "...."

Tambahan:

Batik itu disebut batik karena "cara membuatnya", kan? Bukan sekedar motifnya yang khas (kenyataannya kekhasan motif batik berbeda tiap daerah). Jadi apakah baju sablonan bermotif batik bisa disebut BATIK?

Lebaran: antara Suka dan Duka

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
Hehe, pemanasan dulu ya... Sudah lama tidak mengisi ke-0-an (baca:
kekosongan) blog. Maklum, akhir-akhir ini banyak orderan manggung di
sana-sini. Apalagi pas bulan puasa, kurang afdhol kalo tidak rilis album
religi, jadi makin sibuk deh. Belum lagi acara buka puasa, tarawih,
tadarusan, dan sahur bareng artis serta anak yatim, kebayang sibuknya
dunia hiburan. Tentu saja yang kalian saksikan dalam berbagai acara gosip
itu adalah "Hannah Montana"-ku, Azhar tetap jadi manusia biasa.

Lebaran aka Idul Fitri tahun 1430H kali ini dan tahun-tahun sebelumnya
serta mungkin tahun-tahun berikutnya menjadi hari yang istimewa bagi umat
islam dan umat agama lain yang ikut merasakan liburan. Pada hari lebaran
hampir semua muslim (muslim= orang Islam) pulang kampung dan berkumpul
bersama keluarga, saling bermaaf-maafan dan bertukar kabar. Komunikasi ala
zaman globalisasi yang sarat komunikasi jarak jauh seperti sms, mms,
e-mail, dan video call rupanya kalah dengan metode komunikasi paling
primitif: bertatap muka.

Banyak pemudik berarti banyak pengguna alat transportasi berarti banyak
permintaan atas jasa transportasi. Banjirnya penumpang dimanfaatkan oleh
penyedia jasa transportasi untuk menaikkan harga tiket. Usaha pemerintah
untuk membatasi kenaikan harga tiket walaupun cukup berhasil tetapi tidak
seratus persen efektif. Karena pada dasarnya para pemudik mau membayar
berapapun untuk mendapatkan transportasi ke kampung halaman. Bukanya sok
hiperbolik, buktinya ribuan orang memenuhi bus-bus dan kereta api yang
harga tiketnya melonjak sampai dua kali lipat. Belum lagi tiket yang
dijual para calo dengan harga yang semakin tidak masuk akal. Maklum, calo
juga perlu uang untuk "pelicin" bagi oknum penjual tiket resmi untuk
lebaran.

Tak hanya uang, nyawapun dipertaruhkan untuk mewujudkan sungkem dengan
orang tua. Lagi-lagi hiperbolik ya. Daya tampung maksimal bukan jadi
batasan lagi, ribuan orang berjubel dalam kapal laut dan kereta api
ekonomi, "bangku-bangku darurat" berupa bangku plastik memenuhi ruang
kosong dalam bis kota untuk menampung penumpang lebih, dan tak terhitung
lainnya berjejal dalam padatnya lalu lintas jalanan penuh kendaraan roda
dua. Pemandangan yang terlalu mengerikan untuk diceritakan kepada
anak-cucu.

Ibarat defragmentasi harddisk, semua orang kembali ke tempat dia
dilahirkan. Sesulit apapun, semahal apapun, semua cara ditempuh.

Alhamdulilah, mudik yang saya alami tidak seekstrim cerita di atas.
Sekitar satu setengah bulan sebelum tanggal mudik saya sudah pesan tiket
pesawat ke Jakarta serta tiket Jakarta - Jambi untuk pulangnya. Mungkin
harga tiket hampir satu setengah kali tiket bus tetapi penghematan waktu
perjalanan dan tenaga sangat berarti jika kesempatan pulang mudik hanya
tujuh hari.

Enam belas September 2009, kabut asap menyerang sebagian wilayah pulau
Andalas yaitu Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Jambi membawa kegalauan
dan kesedihan terutama bagi para penumpang pesawat yang terkena imbasnya
karena banyak penerbangan yang ditunda. Baik pesawat yang akan terbang
atau turun menunggu kabut asap menipis dan pilot dapat melihat landasan
dengan jelas (membayangkan pesawat dilengkapi teknologi semacam GPS dapat
dengan mudah mengetahui posisi landasan walaupun terhalang asap dapat
mendarat mulus dengan bantuan program autopilot). Lalu lintas udara mulai
lancar kembali setelah hari agak sore.

Beruntung bagi kami, malamnya turun hujan. Walaupun sebentar, air hujan
membersihkan udara dari asap sehingga penerbangan keesokan harinya tidak
terkendala penundaan yang menyakitkan hati. Kembali lagi melawat Jakarta
yang macet.

Perjalanan dilanjutkan dengan kereta api. Kamandanu namanya, eksekutif
kelasnya, machal harga tiketnya, tapi tak maksimal pelayanannya. Semenjak
serangan arus mudik, pelayanan dikurangi tetapi harga tiket dinaikkan.
Harga tiket awal kalau tidak salah Rp280 ribuan menjadi Rp350 ribu tapi
pihak PT KA tidak menyediakan makan, mungkin karena sedang bulan puasa.

Gerbong enam, gerbong yang kami tumpangi sangat tidak nyaman karena
pendingin udara rusak. Salah seorang penumpang yang merasa tidak puas
dengan hangatnya suasana mengajukan protes dan meminta pindah ke gerbong
lain dan menempati tempat duduk yang kosong. Banyak penumpang yang
melakukan hal serupa tetapi diarahkan oleh petugas dari PT KA untuk
kembali ke tempat duduk masing-masing. Beberapa saat kemudian ada
penjelasan dari pihak PT KA bahwa atas ketidaknyamanan tersebut sebagian
uang tiket dikembalikan sehingga tiket yang kami bayar hanya sebesar tiket
kelas bisnis. FYI, kereta api kelas bisnis memang tidak ber-AC dan banyak
penumpang yang hanya kebagian tiket berdiri sehingga duduk di sembarang
tempat atau berdiri di bordes dan mengurangi kenyamanan penumpang lain.
Paling tidak jumlah penumpang kereta yang kami tumpangi hanya sebanyak
jumlah duduk yang tersedia. Sial bagi kami, mau cerita pamer mudik naik
kereta EKSEKUTIF malah dapat kereta YUDIKATIF alias "yu udik, keringatan,
letih, dan fenat" Haha...ya...ya...maafkan kejayusanku.

Setelah hari mulai sore dan kereta hampir sampai Stasiun Tawang Semarang,
bapak yang protes soal AC tadi pagi kembali ke gerbong dan kembali
marah-marah karena tidak mendapatkan "kupon" dari petugas PT KA untuk
pengambilan uang pengembalian di loket nanti. Ya iya laah, pak, yang dapat
pengembalian kan yang tidak dapat fasilitas AC. Nasib dari bapak X itu
tetap menjadi misteri sampai saat ini.

Dua hari di rumah mertua, dua hari di rumah mertua istriku, tiga hari di
perjalanan, sungguh tujuh hari yang tak terlupakan. Seperti hal-hal baik
lainnya, semuanya terasa cepat berlalu. Kembali ke Jambi, kembali ke
pekerjaan, kembali ke rutinitas.

Turut berduka atas gempa di Pariaman. Sebenarnya saya tidak berkompeten
untuk memberi semangat hidup bagi para keluarga korban tapi saya tetap
mendoakan semoga mereka diberi kekuatan dan kesabaran.

Kamis, 01 Oktober 2009

Lebaran: antara Suka dan Duka

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
Hehe, pemanasan dulu ya... Sudah lama tidak mengisi ke-0-an (baca:
kekosongan) blog. Maklum, akhir-akhir ini banyak orderan manggung di
sana-sini. Apalagi pas bulan puasa, kurang afdhol kalo tidak rilis album
religi, jadi makin sibuk deh. Belum lagi acara buka puasa, tarawih,
tadarusan, dan sahur bareng artis serta anak yatim, kebayang sibuknya
dunia hiburan. Tentu saja yang kalian saksikan dalam berbagai acara gosip
itu adalah "Hannah Montana"-ku, Azhar tetap jadi manusia biasa.

Lebaran aka Idul Fitri tahun 1430H kali ini dan tahun-tahun sebelumnya
serta mungkin tahun-tahun berikutnya menjadi hari yang istimewa bagi umat
islam dan umat agama lain yang ikut merasakan liburan. Pada hari lebaran
hampir semua muslim (muslim= orang Islam) pulang kampung dan berkumpul
bersama keluarga, saling bermaaf-maafan dan bertukar kabar. Komunikasi ala
zaman globalisasi yang sarat komunikasi jarak jauh seperti sms, mms,
e-mail, dan video call rupanya kalah dengan metode komunikasi paling
primitif: bertatap muka.

Banyak pemudik berarti banyak pengguna alat transportasi berarti banyak
permintaan atas jasa transportasi. Banjirnya penumpang dimanfaatkan oleh
penyedia jasa transportasi untuk menaikkan harga tiket. Usaha pemerintah
untuk membatasi kenaikan harga tiket walaupun cukup berhasil tetapi tidak
seratus persen efektif. Karena pada dasarnya para pemudik mau membayar
berapapun untuk mendapatkan transportasi ke kampung halaman. Bukanya sok
hiperbolik, buktinya ribuan orang memenuhi bus-bus dan kereta api yang
harga tiketnya melonjak sampai dua kali lipat. Belum lagi tiket yang
dijual para calo dengan harga yang semakin tidak masuk akal. Maklum, calo
juga perlu uang untuk "pelicin" bagi oknum penjual tiket resmi untuk
lebaran.

Tak hanya uang, nyawapun dipertaruhkan untuk mewujudkan sungkem dengan
orang tua. Lagi-lagi hiperbolik ya. Daya tampung maksimal bukan jadi
batasan lagi, ribuan orang berjubel dalam kapal laut dan kereta api
ekonomi, "bangku-bangku darurat" berupa bangku plastik memenuhi ruang
kosong dalam bis kota untuk menampung penumpang lebih, dan tak terhitung
lainnya berjejal dalam padatnya lalu lintas jalanan penuh kendaraan roda
dua. Pemandangan yang terlalu mengerikan untuk diceritakan kepada
anak-cucu.

Ibarat defragmentasi harddisk, semua orang kembali ke tempat dia
dilahirkan. Sesulit apapun, semahal apapun, semua cara ditempuh.

Alhamdulilah, mudik yang saya alami tidak seekstrim cerita di atas.
Sekitar satu setengah bulan sebelum tanggal mudik saya sudah pesan tiket
pesawat ke Jakarta serta tiket Jakarta - Jambi untuk pulangnya. Mungkin
harga tiket hampir satu setengah kali tiket bus tetapi penghematan waktu
perjalanan dan tenaga sangat berarti jika kesempatan pulang mudik hanya
tujuh hari.

Enam belas September 2009, kabut asap menyerang sebagian wilayah pulau
Andalas yaitu Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Jambi membawa kegalauan
dan kesedihan terutama bagi para penumpang pesawat yang terkena imbasnya
karena banyak penerbangan yang ditunda. Baik pesawat yang akan terbang
atau turun menunggu kabut asap menipis dan pilot dapat melihat landasan
dengan jelas (membayangkan pesawat dilengkapi teknologi semacam GPS dapat
dengan mudah mengetahui posisi landasan walaupun terhalang asap dapat
mendarat mulus dengan bantuan program autopilot). Lalu lintas udara mulai
lancar kembali setelah hari agak sore.

Beruntung bagi kami, malamnya turun hujan. Walaupun sebentar, air hujan
membersihkan udara dari asap sehingga penerbangan keesokan harinya tidak
terkendala penundaan yang menyakitkan hati. Kembali lagi melawat Jakarta
yang macet.

Perjalanan dilanjutkan dengan kereta api. Kamandanu namanya, eksekutif
kelasnya, machal harga tiketnya, tapi tak maksimal pelayanannya. Semenjak
serangan arus mudik, pelayanan dikurangi tetapi harga tiket dinaikkan.
Harga tiket awal kalau tidak salah Rp280 ribuan menjadi Rp350 ribu tapi
pihak PT KA tidak menyediakan makan, mungkin karena sedang bulan puasa.

Gerbong enam, gerbong yang kami tumpangi sangat tidak nyaman karena
pendingin udara rusak. Salah seorang penumpang yang merasa tidak puas
dengan hangatnya suasana mengajukan protes dan meminta pindah ke gerbong
lain dan menempati tempat duduk yang kosong. Banyak penumpang yang
melakukan hal serupa tetapi diarahkan oleh petugas dari PT KA untuk
kembali ke tempat duduk masing-masing. Beberapa saat kemudian ada
penjelasan dari pihak PT KA bahwa atas ketidaknyamanan tersebut sebagian
uang tiket dikembalikan sehingga tiket yang kami bayar hanya sebesar tiket
kelas bisnis. FYI, kereta api kelas bisnis memang tidak ber-AC dan banyak
penumpang yang hanya kebagian tiket berdiri sehingga duduk di sembarang
tempat atau berdiri di bordes dan mengurangi kenyamanan penumpang lain.
Paling tidak jumlah penumpang kereta yang kami tumpangi hanya sebanyak
jumlah duduk yang tersedia. Sial bagi kami, mau cerita pamer mudik naik
kereta EKSEKUTIF malah dapat kereta YUDIKATIF alias "yu udik, keringatan,
letih, dan fenat" Haha...ya...ya...maafkan kejayusanku.

Setelah hari mulai sore dan kereta hampir sampai Stasiun Tawang Semarang,
bapak yang protes soal AC tadi pagi kembali ke gerbong dan kembali
marah-marah karena tidak mendapatkan "kupon" dari petugas PT KA untuk
pengambilan uang pengembalian di loket nanti. Ya iya laah, pak, yang dapat
pengembalian kan yang tidak dapat fasilitas AC. Nasib dari bapak X itu
tetap menjadi misteri sampai saat ini.

Dua hari di rumah mertua, dua hari di rumah mertua istriku, tiga hari di
perjalanan, sungguh tujuh hari yang tak terlupakan. Seperti hal-hal baik
lainnya, semuanya terasa cepat berlalu. Kembali ke Jambi, kembali ke
pekerjaan, kembali ke rutinitas.

Turut berduka atas gempa di Pariaman. Sebenarnya saya tidak berkompeten
untuk memberi semangat hidup bagi para keluarga korban tapi saya tetap
mendoakan semoga mereka diberi kekuatan dan kesabaran.

Konten Lainnya