Penelusuran google

Rabu, 05 September 2007

Stunt City Is Real!

Mendaki gunung, paralayang, arung jeram, menyelam, panjat tebing, dan berkemah adalah beberapa contoh kegiatan yang menjadi sarana penyegar di tengah rutinitas kehidupan kerja/sekolah yang menjemukan (rutin = menjemukan).

Beberapa persamaan kegiatan-kegiatan tersebut adalah berbeda dari rutinitas sehari-hari, memiliki resiko, serta memerlukan persiapan dan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini, resiko atau bahaya, dapat dikatakan menjadi tujuan utama karena bahaya yang terkandung (tersesat di gunung, jatuh dari ketinggian, tenggelam, dsb.) memicu adrenalin dan memberikan efek feel younger -tentunya bagi yang sudah tua.

Ternyata, ada sebagian masyarakat yang menjadikan resiko (dalam bentuk fisik seperti cidera, kecelakaan, dsb.) sebagai rutinitas. Yap, salah satu contohnya adalah para pengguna transportasi kereta api. Lebih spesifik lagi adalah pegawai, karyawan, dan pekerja yang sehari-hari menggunakan sarana transportasi kereta api dalam kota di Jakarta.

Penggunaan kereta api sebagai sarana berangkat-pulang ke dan dari tempat kerja banyak keuntungannya yaitu: terhindar dari macet, biaya transportasi lebih murah, dan jadwal teratur.

Sayangnya, menurut literatur kuliah dan kenyataan di lapangan, resiko berbanding terbalik dengan keuntungan. kelebihan di atas Ktentunya dilengkapi dengan kekurangannya yaitu: biaya murah = pelayanan kurang = fasilitas kurang = keamanan kurang. Kereta Rel Listrik (KRL) ekonomi dan "langsung sambung" (langsam) yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya pengguna.

Alhasil, pemandangan yang terlihat di setiap stasiun kereta api adalah berebut "ruang kosong" kereta. Yang penting masuk dan sampai tujuan, kenyamanan dan keamanan dikesampingkan. Beberapa praktek keekstriman yang dilakukan para penumpang kereta di antaranya: naik di pintu karena dalam gerbong sudah penuh, bergelantungan di lokomotif, dan yang paling bahaya (dan berangin) adalah duduk di atap gerbong.

Sebenarnya ada kereta yang lebih nyaman yaitu kereta AC yang harga tiketnya lebih mahal yaitu 5-10 ribu untuk satu kali perjalanan. Sebuah angka yang menurut para buruh pabrikan, pegawai biasa, dan pedagang sayur di pasar tidak ekonomis hanya untuk sekadar transport (dibandingkan dengan penghasilan perhari mereka). Lebih irit lagi, dengan adanya kelemahan sistem pengendalian internal di stasiun-stasiun kecil, penumpang gelap dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas (yang minim tersebut) tanpa membayar tiket (seharga Rp1.500). Apabila ada pemeriksaan tiket oleh petugas, cukup membayar seribu (masih untung Rp500) sebagai "uang aman". Setelah turun dari kereta dan keluar stasiun, seringkali tidak ada pemeriksaan tiket. Kalaupun ada, karena banyaknya penumpang, banyak (hampir semua) yang lolos pemeriksaan.

Itulah, hanya dengan seribu lima ratus rupiah, rakyat kecil yang tidak sempat dan tidak mampu (secara finansial) menikmati pendakian gunung, paralayang, arung jeram, menyelam, panjat tebing, dan berkemah dapat juga menikmati wahana yang tidak kalah bahayanya.

Berhimpitan Di Dalam Gerbong

Panas, tidak nyaman, rawan pencopet, polusi rokok, rawan pelecehan seksual, dan sesak nafas.

Bergantung Di Pintu

Berangin, tangan pegal, jika lengah bisa jatuh, dilempari batu oleh anak kecil penghuni perumahan kumuh bantaran rel kereta yang iseng.

Bergantung Di Lokomotif

Berangin, kena debu, tangan kotor (banyak oli), kena asap, berisik suara mesin dan bel kereta, jatuh.

Duduk Di Atap Gerbong

Berangin, kena debu, tempat kotor, jatuh, disuruh turun petugas keamanan stasiun.

Tinggal pilih saja.

1 komentar:

  1. Mending naek di dalam lokomotif, zar. Ngga terlalu berdesakan. Tapi kita harus bayar lagi sama masinisnya. Ga peduli apa kita dah punya karcis ato belum.
    Rp 2000 kalo KRL ekonomi/langsam/kereta barang.
    Rp 3000 kalo KRL AC.

    BalasHapus

Tulislah apa yang ingin ditulis dan dan klik "Poskan Komentar" bila Anda sudah siap.

Konten Lainnya