Penelusuran google

Kamis, 17 Januari 2008

Gerakan Mengantri Nasional

B049, nomor antrianku, tercetak di secarik kertas di genggamanku. B037, nomor antrian seorang pelanggan NBI (National Bank of Indonesia) yang tak kukenal, tercetak di sebuah tampilan kristal cair (sebut saja LCD) di langit-langit gedung. 099, level ketidaksabaranku dari skala 100.

"Gado-gado, bang," sapaku pada seorang penjual gado-gado (tentunya) di sebelah gedung bank. Dalam sekejap, jadilah pesananku di antar ke mejaku. Beberapa gadis lokal duduk di sebelah kananku, memesan menu yang sama. Sesaat kemudian, jus tebu, pesanan keduaku diantar oleh penjual jus tebu (tentunya). Sejenak melirik ke arah kanan sebelum melanjutkan acara wisata kuliner.

Dengan menahan lapar sang juru kamera mengarahkan kameranya (tentunya) ke arah Mr. Bond. Air liurnya menetes membasahi inventaris kantor yang sedang dipakainya itu, memasuki sela-sela yang ada dan mulai menyebabkan hubungan singkat yang berakibat tidak singkat.

Mr. Bond. terlihat sangat menikmati menu yang dihidangkan. Sedikit dia mencicipi kuahnya, sambil matanya merem-melek. Lidahnya sempat menyikat habis sisa kuah ditepi bibir tebalnya sebelum mengucapkan mantra yang membuatnya kondang dan (tentunya) menghasilkan uang.

"Mak mbus," katanya dengan aksen yang khas.

Beberapa sentimeter di depannya, seorang kameramen kawakan terkejut dengan percikan api listrik dari kamera pinjaman dari kantornya. Dengan gerakan kilat, di melemparkan benda sial itu untuk menghindari ledakan yang lebih mematikan. Tentunya ledakan mematikan tersebut berasal dari benturan kamera dengan lantai restoran yang membunuh karirnya, karir Mr. Bond., karir pemilik warung, karir sutradara acara Wisata kuliner, karir pemilik stasiun TV swasta yang menayangkan acara Wisata Kuliner, karir....

"Goblok! Dasar tidak becus!" Mr. Bond. marah a la sinetron, "Kerjaan cere aja tidak bisa!" Dan seperti cerita sejenis lainnya, cerita ini berlanjut dengan pertengkaran, penghianatan, perselingkuhan, penindasan, pembunuhan berencana dan pembunuhan tidak disengaja.


Setelah selesai menunaikan kewajibanku untuk membayar makanan yang telah kumakan, diriku kembali melanjutkan penantian panjang menuju nomor antrian B049. hanyalah kekecewaan yang kurasakan tatkala menyaksikan pacarku sedang bermesraan dengan cowok lain petuugas bank sedang melayani (dalam artian positif tentunya) pelanggan dengan nomor antrian 040.

Yap, i gave up. Menunggu sembilan orang dengan rata-rata durasi pelayanan 10-20 menit adalah penantian yang sangat panjang dan melelahkan (secara mental). Segera kubertolak menuju tempat parkir dan memacu belalang tempurku menuju tujuan kedua.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu", pegawai Galeri Indosat menyapa diriku dengan ramah. Semoga keramahannya tidak hanya sekedar SOP saja.

"Ya, Bu. Saya berniat migrasi ke Amrik, eh maksudnya Matrix."

Lumayan cakep, kulit muka putih dan mulus karena make up, hidung mancung, rambutnya disemir semi blonde yang lagi ngetren, perkiraan umur 25-26 tahun, hampir dipastikan masih lajang, 165 cm-an, 45 kg-an, 34B-an, gaya ngomong dan raut muka kaku a la operator telepon, petugas bank, dan resepsionis hotel, tapi sayang, oleh pelanggan dipanggil Bu. Mungkin karena itu dia terkesan jutek kali ya.

"Sudah bawa persyaratannya?"

Diriku serasa melayang menembus ruang dan waktu, memeriksa dalam ingatan tersembunyi apakah ada surat masuk, sms, telepon, email, telegram, atau apapun yang isinya adalah pemberitahuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk ganti status dari mentari menjadi pascabayar Matrix yang lebih bonafit.

"Negatif, Sir", prajurit Azhar-beta melapor kepada Azhar-alfa, "zero result," lanjutnya.

"Belum," diriku menjawab dengan nada aneh, merasa disalahkan karena ketidaktahuanku, "emang persyaratannya apa?"

"Fotokopi KTP dan kartu keluarga".

Azhar-beta kembali melapor.

Tidak lama sebelum hari ini. Diriku sedang berdiri di lobi kantor, ngobrol dengan ... (lupa siapa), Pak Yudi lewat.

"Ini kartu keluarga," Pak Yudi menunjukkan selembar kertas berisi tabel dan nama-nama, "kalo mau ganti ke Matrix mas butuh ini". Terakhir melihatnya (kartu keluarga itu),sebelum itu, diriku sedang mengisi formulir pembuatan KTP.


Kembali ke masa kini.

"Ooh, harus ada kartu keluarga ya".

Diam sepersekian detik.

"Terus, kelebihan memakai Matrix apa?"

Diriku mendengarkan dengan seksama penjelasan singkat (terlalu singkat menurutku). Tentu saja hanya "strenght"-nya saja yang keluar, W, O, dan T-nya tidak dibahas.

Dengan langkah mantap, sekali lagi diriku keluar dengan tangan kosong. Dengan menanggung malu kepada seluruh rakyat kerajaan, diriku kembali berpacu dalam melodi menuju pos pertama. sedikit meliuk-liuk di antar mobil yang bergerak lambat, mengerem mendadak di lampu merah, sekali-kali membetulkan posisi helm yang sedikit bergeser, dan sejenak mendaratkan pandangan kepada cewek cakep yang sedang melintas di trotoar (perlu diketahui, ketika dirimu berkendara dengan dengan kecepatan tinggi, semua terlihat sama).

Sekali lagi kuparkirkan plat merahku di pelataran parkir NBI, melangkah dengan mantap memasuki lobi gedung, sejenak memindai seluruh ruangan untuk mengidentifikasi pelanggan yang cakep, dan sedikit tertegun melihat LCD yang sebelumnya telah menyita pandanganku.

"B050," batinku, diriku hanya diam.

Dengan harapan yang besar, untuk kedua kalinya, diriku mengambil nomor antrian, semoga tidak jauh.

B063, nomor antrianku, tercetak di secarik kertas di genggamanku. B051, nomor antrian seorang pelanggan NBI (National Bank of Indonesia) yang tak kukenal, tercetak di sebuah tampilan kristal cair di langit-langit gedung. 099,9, level ketidaksabaranku dari skala 100.


Tamat untuk kali ini.

n.b.

"Pak, Pak, maaf pak. Nomor antriannya berapa? Takut terlewat".

Diriku membuka mataku, sisa-sisa rasa kantuk masih mencekik, dengan terburu-buru kujawab, "ya," kuambil kertas antrianku, melirik ka arah LCD, "nomor enam puluh tiga pak".

"Oh, ya," kata satpam barusan sambil meninggalkan diriku dalam kemaluan. Ibu-ibu yang duduk di depanku sedikit tertawa. Sang LCD juga seakan mengejekku dengan menampilkan nomor B053.

1 komentar:

  1. hahahaha....
    makanya sabar dikit mas..
    ga rugi kok..

    btw,, gado2 di melati enak jg ya? setau aku yg plg terkenal dsitu ya siomaynya.. hhhhmmmmm.....

    koreksi dikit ya mas,, setau aku ga ada deh yg namanya jus tebu,, yang ada AIR TEBU/ ES TEBU!!

    ^o^

    BalasHapus

Tulislah apa yang ingin ditulis dan dan klik "Poskan Komentar" bila Anda sudah siap.

Konten Lainnya