Penelusuran google

Sabtu, 02 Februari 2008

Trilogi TUP - Ep I: Kanwil

Kini pekerjaanku semakin penting aja, melibatkan uang rakyat ratusan juta rupiah dan tentu saja menguasai hajat hidup orang banyak. Masalah posisi barisan di medan perang, diriku masih tut wuri handayani. Para penghuni kantor sudah menyebar ke daerah masing-masing sesuai strategi dari bos besar, Kepala Perwakilan, untuk melaksanakan amanat undang-undang empat lima, amanat undang-undang 15 tahun 2006, dan tentu saja amanat rakyat seantero kerajaan. Dengan bekal seadanya dari Subbagian Keuangan, mereka berangkat dengan menempati pos masing-masing. Walaupun ransum seadanya, amunisi yang dibawa cukup lengkap: sekolah bertahun-tahun sampai bosen, diklat auditor ahli selama dua bulan, diklat-diklat teknis yang tak terhitung jumlahnya (males ngitung), buku-buku peraturan, soft copy peraturan-peraturan, manajemen pemeriksaan dari kantor pusat, dan laptop pinjaman dari kantor, serta pidato yang berapi-api dari bos.

Tinggallah diriku sendiri, jaga pos garis belakang, jaga kantor, dan jaga mes yang ditinggalkan.

Kepala Subbagian Keuangan:
"Zhar, kamu ngga' usah berangkat PS dulu ya, bantuin ibu di keuangan."

Azhar:
Diam dan pura-pura berfikir.
"Ya, Bu."


Tugas pemeriksaan setempat (PS) kali ini berdurasi empat puluh hari kalender yang artinya hari Sabtu dan Minggu dihitung kerja, tidak libur, dan tentunya ada bayarannya. Sedikit melegakan hatiku, ketidakikutanku membuat diriku merasa tak bersalah untuk menghabiskan Sabtu-Mingguku untuk kepentingan pribadi: tidur, bersih-bersih, tidur, makan, tidur, main game, tidur, nonton DVD, tidur, bengong, dan akhirnya jadi kepompong. Sayang, hari Seninnya tetap menjadi ulat lagi.

Karena jumlah prajurit yang banyak dan jumlah hari yang juga banyak (biasa disebut mandays), penugasan kali ini menuntut biaya yang tidak sedikit. Untuk mencairkan uang yang begitu banyak memerlukan ritual yang tidak biasa. Pertama, minta dispensasi kepada Pak Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (sebut saja Kakanwil DJPb) selaku wakil Bu Sri Mulyani ditingkat provinsi. Dengan kemampuan mengetik sebelas jariku, konsep surat dan rincian anggaran biaya jadi dalam waktu singkat (maklum liat konsep surat sebelumnya). Setelah mendapat acc bos kecil,bos sedang, dan tanda tangan bos besar, surat tersebut segera diantarkan menuju tujuannya.

Untuk menghindari pemborosan, tugas remeh tersebut cukup diserahkan kepada satu orang, yaitu diriku sendiri. Seperti biasa, belalang tempur plat merah sebagai kendaraan operasional kantor menjadi teman yang dapat diandalkan. Karena hari ini tidak melawan monster anak buah Gorgon, KOtaro Minami tidak perlu berubah menjadi Kamen Rider RX, cukup memakai baju kantor saja.

Misi hari ini:
1. mengantar surat permohonan dispensasi ke Kanwil,
2. mampir ke BNI, setor pajak, print buku tabungan, dan konsultasi masalah pembukaan rekening untuk gaji,
3. mampir ke BRI, print rekening koran bulan ini,
4. mampir ke warung, ya buat makan siang (termasuk sarapan) lah, dan
5. jumatan.

Azhar:
"Mau cetak buku tabungan, Pak."

Pak Teddy, petugas bank:
"Silahkan duduk, Pak."

Diam beberapa detik. Backsound: suara percakapan nasabah bank dan printer dot matrix yang sedang bekerja.

Pak Teddy lagi:
"Gajinya sudah ditransfer, Pak."

Sedikit terkejut tetapi senang,"Oh,ya."

Pak Teddy mengklak-klik mousenya.

"Transfer dari Jakarta, ya, Pak."

Sial,dia bisa tahu tiap detil transaksi.

"sudah berkeluarga?" Pak Teddy mulai meng-OTT-kan pembicaraan, sedikit mengetuk privasi, menyalahi SOP (karena ada nasabah lain yang masih menunggu)
.

"Belum, Pak."

"Sudah punya calon?"

Semakin
OTT.

"Belum, Pak,"
diriku copy-paste dari dialog sebelumnya. "Oh, ya, Pak, gimana mekanisme pembayaran gaji yang langsung ditransfer ke rekening tiap pegawai? Tolong dijelaskan, Pak." Maklum, esmud merangkap artis, menghindari wawancara yang tidak perlu.


Mission Accomplished, diriku kembali menjadi pegawai indoor.

Ibu Kasubbag aka Bos Kecil:
"Zhar, hari ini kamu ngga' ngambil duit?" seperti biasa, Ibu bergaya gaul.

Hari ini tanggal satu Februari yang berarti (seperti tanggal satu bulan-bulan lainnya) saatnya gajian. Tidak seperti pegawai negeri atau calon pegawai negeri yang mendpatkan gaji dan tunjangan via transfer, tenaga kontrak di kantor masih mendapat remunerasi secara tunai.

Pekerjaan yang sulit dimulai: menulis cek. Banyakaturannya, "Jangan dilipat", "Tanda tangan dan cap perusahaan tidak boleh melewati garis ini", tidak boleh ada coretan, tidak boleh ada kesalahan. Seperti anak SD, diriku menulis nominal angka dan hurufnya dengan hati-hati. Last but not least, membubuhkan tanda tangan. Benar, sodara-sodara sekalian, diriku menandatangani cek. sebelumnya, Bos Sedang sudah membubuhkan tanda tangan. Untuk alasan pengendalian, penanda tangan cek harus dua di antara tiga orang yang spesimen tanda tangannya sudah didaftarkan ke bank.

Kali Pertama mencairkan cek.

Kasir bank:
"Ini yang tanda tangan siapa? Kok beda?"

Azhar:
"Bendaharanya, Bu. Ganti, Bu. Kemarin spesimen tanda tangan yang baru sudah diserahkan ke Bu wiwit."

Karena antara lantai I dan lantai II tidak online, terpaksa diriku dan pelanggan lain menunggu petugas bank untuk mengecek spesimen tanda tangan.

Dengan gaya yang tidak dewasa diriku bersama teman kantor yang merangkap sebagai pengawal memasukkan beberapa bundel uang ke dalam tas. Sedikit terburu-buru dan gugup. Walaupun begitu, sempat melirik ke pelanggan di sebelah yang sedari tadi menunggu giliran, cakep si, tapi ibu-ibu. Akhirnya uang tersebut dapat dengan selamat sampai brandkas dan tim yang akan melaksanakan tugas pemeriksaan dapat sedikit memperoleh sangu di muka.

Kali kedua mencairkan cek, di cabang lain yang lebih dekat.

Kasir bank:
"Ini yang tanda tangan siapa? Kok beda?"

Azhar:
"Bendaharanya, Bu. Ganti, Bu. Kemarin spesimen tanda tangan yang baru sudah diserahkan."

Antara lantai I dan lantai II saja tidak online, apalagi antarcabang. Terpaksa diriku dan pelanggan lain menunggu petugas bank untuk menghubungi kantor pusat (yang di Jambi) dan meminta spesimen tanda tangan segera dikirim via intranet.

O, ternyata mereka sudah online. Tapi kenapa data nasabah tidak segera dimutakhirkan?


Kali ini persiapannya lebih matang, dikawal satpam beneran, bro, lengkap dengan seragam khasnya. Norak, menurutku. Padahal cuma ngambil dikit. Seperti biasa, bank selalu rame pengunjung. Diri ini sudah kebal mengantri.

Pinggangku bergetar, rupanya ada telepon masuk dari Ibu Kasubag.

"Zhar,masi di mana?"

"Masi di bank, Bu, ngantri."

"Nanti mampir Kanwil ya, temui Pak Eko, katanya ada koreksi."

"Ya, Bu."

Setelah uang diterima, diriku bersama pengawal meninggalkan nasabah lain yang masih mengantri (ngapain nunggu mereka) menuju Kanwil.

"Selamat sore, Bu. Maaf, Pak Eko yang mana, ya?"

"Yang itu," kata ibu-ibu pegawai kantor yang kutemui sambil menunjuk ke ruangan sebelah ke arah seorang paruh baya yang sedang baca koran, terlihat jelas dari balik kaca pembatas ruangan.

Dengan sigap a la kopassus diriku melangkah menuju orang yang dimaksud.

"selamat sore, Pak Eko. Saya dari BPK, Pak."

"Pak Eko yang itu, sambil menunjuk ke arah meja sebelah.

Dengan ackward a la hansip diriku melangkah menuju orang yang dimaksud yang sebenarnya.

3 komentar:

  1. Hahahaha...
    Bisa ngebayangin, Zhar!!

    BalasHapus
  2. Waw!
    sekarang kamu yg megang uang orang2 sekantor, ya!
    btw, gaji n rapelanmu udah cair, kan?
    kalo belum percuma aja jd bendahara!

    BalasHapus

Tulislah apa yang ingin ditulis dan dan klik "Poskan Komentar" bila Anda sudah siap.

Konten Lainnya