Penelusuran google

Senin, 12 November 2007

Fenomena Instan

Pernah ngga? Bangun telat dan tiba-tiba teringat ada PR yang harus dikumpulkan segera tetapi kemudian terselamatkan dengan "contoh" hasil kerjaan temennya temen kita dari kelas lain atau bahkan tahun lalu. Dengan sedikit teknik sederhana, klak-klik sana-sini dan sedikit mengiba untuk numpang ngeprin di kamar sebelah, tanpa mengucap abrakadabra, jadilah PR "atas nama sendiri". Dengan sedikit doa dan keberuntungan, beda dosen, beda kelas, dan beda tahun, niscaya plagiatisme tidak terdeteksi.

Peringatan awal, membaca blog ini memerlukan tenaga ekstra dan waktu lebih. Sebelum melanjutkan, ada baiknya tarik nafas dalam-dalam, bikin kopi dan mi dulu untuk mengantisipasi rasa lapar yang meungkin timbul di tengah prosesi pembacaan blog. (terinspirasi oleh wadehel) Subjudul yang disertakan bertujuan sebagai tempat istirahat, atur nafas, menikmati mi, atau sekedar nyruput kopi.

Instan = Cepat

Sekarang jamannya serba cepat. Berbagai alat bantu dibuat untuk membantu (baca: mempercepat dan mengakuratkan) kerja manusia. Hitung-menghitung misalnya, dengan kalkulator, hitungan perkalian yang rumit dapat dilakukan dalam sekejap mata (asal pas mencet tombol tu kalkulator, mata hanya kedip sekali). Orang purba tentu saja tidak perlu menghitung perkalian puluhan digit yang rumit karena memang mereka tidak memerlukannya, yang penting pas butuh ikan mereka punya buah-buahan yang porsinya sepadan untuk dibarter dengan ikan dari kampung sebelah.

Selain itu, muncullah istilah template yang saking instannya (setahuku) belum ada istilah bahasa Indonesianya. Dengan template, seorang tukang jahitpun bisa menjadi perancang halaman situs yang handal. Merancang halaman muka blog pun tidak perlu belajar (misalnya) Microsoft Frontpage ataupun tag-tag HTML dari buku yang tebelnya minta ampun. Tinggal klak-klik sani-sini, "next" dan "next" lagi, wolaa jadilah halaman muka blog yang cantik. Tentu saja ga boleh marah kalo ada blog lain yang mempunyai desain sama persis, namanya juga batik sablon, tinggal cetak aja.

Jadi orang jahat pun sekarang secara instan bisa diwujudkan. Generator virus contohnya, tinggal unduh aplikasinya, klak-klik sana-sini, "next" dan "next" lagi, mak nyuk, jadilah virus dengan nama dan kemampuan (yang tentunya terbatas sesuai dengan aplikasi generator virusnya) yang kita inginkan. Lumayan merepotkan, tetapi pasti selalu kelah mutakhir dengan antivirus yang sudah ada.

Satu kesimpulan dapat diambil, sesuatu yang instan hasilnya tidaklah maksimal tapi soal kecepatan menang. Bagaikan barat dan timur, kecepatan dan mutu memang saling bertolak belakang.

Adakah yang Lebih Instan?

Menurutku, hal instan yang menurutku paling dapat memuaskan kebutuhanku secara instan adalah mi instan yang dengan pedenya menyebutkan frase instan yang secara tersirat membawa pesan moral: "rasa adalah nomor dua". Bangun kesiangan, belum mandi, belum nyetrika, belum ngerjain PR, dan (siksaan paling dahsyat,) perut lapar.

Mandi bisalah disubtitusikan dengan parfum, nyetrika bisalah diganti dengan "yang penting pede, kusut-kusut dikit ga akan dimarahi dosen, lah kalo lapar? Beli nasi uduk di warung Ceuceu harus ngantri, ngga makan ga bisa konsen (baca: tidur tenang) di kelas, akhirnya mi instanlah solusi instan untuk kebutuhan kandungan glukosa dalam darah. Perbungkusnya lumayan, bisa memenuhi 15% (contoh dari salah satu merek mi instan) Angka Kebutuhan Gizi (untuk diet 2000 kalori) per hari. Tentunya biar ga cepet abis, tenaga yang terbatas harus digunakan dengan hemat, jangan banyak gerak dan mikir di kampus; tidur, selain dapat mencegah perbuatan maksiat juga dapat menambah "kenyang"-time (terinspirasi dari istilah talk time).

Hasil survei (kalo bisa disebut survei yah, soalnya aku terpaksa mengalami kelamnya dunia kos-kosan selama kuliah-makan tidak teratur dan tentunya manajemen keuangan yang menyita bandwidth pikiran), tidak hanya diriku yang beranggapan seperti itu; mi instan ternyata menjadi komoditas unik bagi penduduk sipil kos-kosan. Bahkan ada yang khusus menganggarkan untuk makan mi instan sekian hari sekali atau sekian kali sehari. Dengan begitu, anggaran makan bisa ditekan (tight money policy) dan penghematan yang dihasilkan dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih tidak berguna seperti membeli komik, traktir temen, dan nonton bioskop-untuk mempertahankan embel-embel "gaul" (yang fana).

Dengan membeli beberapa merek mi instan, menu yang didapat lebih variatif, hari ini makan soto daging, besok makan soto ayam, besonya lagi makan spageti, sate, dan rasa-rasa virtual lainnya. Apapun mereknya, yang penting mi instan, murah dan (apakah) sehat (?).

Temenku lebih parah, dia beli sekaligus satu dus mi instan untuk persediaan. Karena lingkungan kos-kosan yang tidak higienis dan tidak steril, masuklah semut dan teman-teman seperguruannya merampas harta rakyat. Karena sudah tidak perawan lagi, temenku yang satu ini merasa risih melihat tumpukan minya yang sudah ternoda. Karena sayang dibuang, akhirnya kebijakan ekstrim diambil, "Mi ini harus segera dihabiskan". Dengan semangat empat lima akhirnya dimulailah program "days with me mi". Pagi mi, siang mi, malam mi, oh....me mi again....

Dari hasil wawancara tidak resmi aka ngbrol ngalor-ngidul, salah satu oknum penghuni kos-kosan sempet keceplosan mengeluarkan pernyataan menghebohkan (yang mengilhami blog ini), "Tidak ada yang lebih instan daripada mi instan".

Kuliah In-STAN?

Pengen jadi pegawai negeri secara instan? Kuliah aja in STAN (cuma gaya aja dan tidak bermaksud promosi, padahal ada kuliah instan lainnya).

Tersebutlah sebuah kawah Candradimuka yang mampu mengubah (aka convert) seorang lulusan SMA jurusan IPA yang maniak rumus dan pikiran dipenuhi hal-hal yang eksak menjadi buruh rakyat yang bekerja dalam keadaan ekstrim harus mengubah Hukum Newton dan klasifikasi tumbuhan dengan Undang-undang dan Jenjang hirarki jabatan.

Asal lulus Ujian Saringan Masuk (USM), kuliah tiga tahun bisa dinikmati dengan hanya mengeluarkan uang yang tidak seberapa (hanya untuk kegiatan kemahasiswaan dan wisuda; frase "gratis biaya pendidikan" tidak merefer pada uang makan dan biaya kos) dibandingkan dengan biaya kuliah di universitas negeri dan swasta. Angin segar buat rakyat jelata bukan? Tetapi nyatanya banyak anak pejabat dan warga negara kelas menengah ke atas yang turut andil dalam USM yang diselenggarakan dan fairly (secara administrasi) berhasil lulus. Walaupun bersaing secara sportif tapi kan tidak adil secara finansial (orang kaya kok cari yang gratis). Lagi-lagi penonton rakyat dikecewakan.

Karena sistem penerimaan mahasiswa menggunakan saringan yang ketat, tentu saja mahasiswa yang tersaring pun memiliki kualitas yang tidak dapat diremehkan. Sebut sajalah 90% mahasiswa memiliki prestasi akademik di SMA dulu. Tetapi sayang sekali, mahasiswa-mahasiswa yang pernah kutemui 50%(atau mungkin lebih)-nya masuk yang 10% itu.

Kembali ke instan, setelah perjuangan penuh ketidakjelasan selama tiga tahun, begitu selesai yudisium, bebaslah kita dari segala beban. Benarkah begitu? Oh...tidak, Udah sekolah gratis main kabur aja. Ada yang namanya ikatan dinas (kerja paksa, tapi di bayar kok). Pake rumus lagi; 3n+1, dengan n adalah masa kuliah. Jadi, lulusan diploma III ijazahnya ditahan sepuluh tahun dulu (kacian...).

Yang namanya transkrip nilai pun belum pernah diperlihatkan. Setiap akhir semester hanya ada daftar IP yang ditempel di gedung perpustakaan. Selain itu ada juga daftar tumbal; orang yang tidak bisa mempertahankan prestasi kehadiran minimal 80% atau yang tidak beruntung gagal di salah satu mata kuliah. Sedih juga mengetahui temen kita tiba-tiba tidak kelihatan lagi di semester berikutnya. Lebih sedih lagi tentunya apabila kita mengalaminya sendiri.

Masuklah kita ke dalam kancah pertempuran ada yang masuk blok Depkeu, partai BPK, dan kafilah-kafilah lain di dunia persilatan. Saatnya menjadi investasi rakyat untuk
tentunya memberikan return yang lebih besar (?).

Kesimpulan kedua, instan itu settingnya tidak fleksibel. Contoh lain ada juga. Pernah buka rekening baru di sebuah bank. Sebut saja BNI, ada juga loh ATM instan yang jadinya just in time saat itu juga tapi nama kita tidak tercetak di kartu, kalo ilang ya ilang aja.

Begitulah dunia yang sudah mulai menginstan.... Kalo terlalu instan seru ga sih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulislah apa yang ingin ditulis dan dan klik "Poskan Komentar" bila Anda sudah siap.

Konten Lainnya